"Nina." Teriak Rama. "Nin, kamu kenapa?"
Aku tersenyum manis sambil menggenggam buku-buku besar ditangan. "Aku? Aku kenapa?"
"Enggak, aku cuma agak cape aja abis ujian tadi." Jawabku. "Aku izin pulang duluan boleh?"
Rama menggaruk kepalanya. "Tumben gak nungguin aku selesai futsal dulu? Biar bareng seperti biasa."
Aku menggeleng. "Aku cape, ngantuk juga. Aku duluan ya, Ram."
"Yaudah deh, hati-hati ya Nin." Rama melambaikan tangannya.
Rama, teman satu kampusku. Tipe laki-laki biasa yang mempunyai kharismatik luar biasa, dia bukan anak yang genius tapi dia pintar mengambil hati para dosen, dia aktif diberbagai aktivitas kampus.
Hampir seisi kampus ingin kenal dekat dengannya, dia tak tampan tapi dia mampu menarik segalanya dengan wibawa yang dia punya.
"Tumben gak sama Rama?" Tanya Dilla, teman satu kosan ku.
Aku menggelang dan tersenyum. "Cape, ngantuk."
"Gak mungkin, lo gak lemah kali." Sanggah Dilla. "Karena Rama..."
"Sssst. Udah jangan bahas itu lagi, Dil." Ucapku. "Aku beneran cape. Aku tadi abis cinta li."
Dilla membawkanku segelas air putih. "Jangan bohong, Nin. Karena Rama tarik ulur lo terus kan? Karena Rama sampai sekarang masih belum kasih kepastian?"
Aku tertawa kecil. "Aku gak heran soal itu."
"Yakin? Cerita lah, Nin." Dilla duduk tepat disampingku. "Rama gue akuin emang sempurna untuk organisasi, banyak yang ingin dekat dengan dia, tapi jujur gue gak bisa liat kesempurnaannya dia dalam urusan cinta."
"Maksudnya, Dil?" Tanyaku heran.
"Lo bukan orang pertama yang di PHP in dia, Nin." Lanjut Dilla. "Udah berapa lama nunggu dia? Udah pake sebutan apa aja sama dia? Apa kalian udah kaya orang pacaran?"
Aku menghela nafas berat. "Aku udah hampir dua bulan nunggu dia, udah sayang-sayangan juga, iya udah bener-bener kaya orang pacaran, Dil."
"Lo nikmatin itu semua? Lo suka hubungan kaya gitu? Hubungan tanpa status?" Dilla mulai frontal. "Gue sebagai temen deket lo itu cuma gak mau liat cinta lo bertepuk sebelah tangan."
"Gue gak sebelah tangan, Dil. Dia juga sayang kok sama gue, dia cuma nunggu waktu yang tepat aja." Ujarku membela.
Dilla tersenyum sinis. "Duh Nina, diluar sana masih banyak laki-laki yang bisa buat lo ngerasa jadi bidadari tau gak. Lo lebih bisa ngerasa yang namanya dibutuhin, bener-bener disayang dengan tulus tanpa harus nunggu kaya gini, awalnya emang manis tapi apa yakin kedepannya akan manis? Semua orang pasti bosan sama yang namanya nunggu, lo gak bisa lari dari kenyataan itu."
"Gue... Ya, sebenernya... Iya gue udah mulai bosen jalanin hubungan kaya gini. Terus gue harus gimana?" Tanyaku.
"Lo temuin dia besok, lo tanya apa mau dia." Dilla menyarankan. "Gue tunggu kabar dari lo lagi ya besok.
Keesokan harinya.
"Nina." Panggil Rama. "Itu siapa?"
Aku sedang mengerjakan tugas dikantin bersama temanku, Senno. "Dia Senno." Tunjukku saat Senno sedang memesan minuman.
"Fakultas apa? Aku baru liat dia kayanya." Tanya Rama.
"Iya, dia anak hukum. Dia dulu temen SMA, bagusnya ya masih berteman sampai sekarang. Kenapa?"
Rama yang terlihat gugup akhirnya duduk disampingku. "Kamu keliatannya udah bisa jauh dari aku ya?"
"Maksudnya? Kok kamu bilang begitu?" Aku mengetuk-ngetuk pensil keatas meja.
"Dia." Rama menunjuk Senno. "Kamu udah mulai bisa jalan sama cowo lain selain aku."
Serba salah. Benar-benar serba salah.
Aku tersenyum lemah. "Loh? Emangnya kenapa? Dia kan cuma teman."
"Iya bener juga sih, kita juga sebatas teman kan? Yaudah deh, lanjutin belajar sama makannya, ya. Aku ke ruang senat dulu." Seperti biasa Rama selalu lari dari masalah.
"Ram." Panggilku. "Jadi selama ini kita hanya sebatas teman?"
"Iya, Nin. Aku sayang sama kamu cuma sebatas teman." Rama tersenyum dan kembali melanjutkan jalannya.
Sakit hati saat mendengarnya.
Entah karena gengsinya yang terlalu tinggi atau memang hanya aku saja yang terlalu berharap sehingga terjadi kasus seperti pemberi-harapan-palsu.
Apa arti kata sayang selama ini? Apa yang didapat selama hampir dua bulan ini? Hanya karena gengsi semua menjadi benar-benar TEMAN.
Rama yang sangat pintar menutupi suasana hatinya terkadang membuat ku merasa dicambuk, melihat canda tawanya yang tak terlihat bersedih kehilanganku atau setidaknya bersedih saat melihatku memilih untuk menjauh.
Tak ada sedikitpun tindakannya untuk menarikku kembali, merajut sisa-sisa asmara yang sudah terlanjur dijalani dan sebentar lagi akan naik tingkat menjadi PACAR.
"Gimana Nin?" Tanya Dilla.
"Teman." Jawabku singkat.
Dilla menggenggam tanganku. "Dia yang terlihat sempurna belum tentu sempurna. Dia yang lo harapin belum tentu sesuai dengan harapan. Liat kedepan ya, Nin. Gak usah ke dia dia lagi."
"Iya makasih ya, Dil." Aku tersenyum. "Kok lo bisa tepat banget ya kasih saran, lo pantes jadi anak psikologi nih dibanding jadi anak arsitektur."
Dilla membalas senyumku. "Karena gue sebenarnya orban PHP---Rama juga."
Seketika tubuhku kaku. "HAH?!"
"Serius, Nin. Delapan bulan." Mendengar perkataan Dilla aku sampai merasa susah untuk bernafas. "Kita sayang-sayangan, gue nunggu dia, tapi pada akhirnya kita cuma teman dan gak lama dia deket sama lo yang dia tau kalau kita itu temenan."
"Dilla...." Aku benar-benar tidak tahu akan hal ini. "Maafin gue, gue beneran gak tau."
"Gue juga tau lo pasti gak tau. Dia itu sempurna untuk urusan organisasi atau apalah, tapi dia orang yang pengecut untuk hal cinta. Dia cuma berani menggantungkan perasaan orang tanpa mau dia beri status." Kata-kata Dilla benar-benar ngena.
Aku menunduk diam. "Kenapa dia seperti itu, ya?"
"Orang diluar sana pasti banyak yang bilang... Terjadinya kasus PHP karena kitanya aja yang terlalu berharap, tapi menurut gue itu salah! Mereka itu memang ngasih kita harapan palsu dan setelah itu kita yang disalahin dan dibilang kita yang terlalu banyak berharap. Sekarang lebih baik lo cuek-cuek aja deh, jangan galau didepan dia." Jelas Dilla.
"Makasih ya, Dil." Aku memeluknya erat Dilla. "Sekali lagi gue minta maaf, ya"
"Iya sama-sama ya, Nin."
Saat ini aku benar-benar belum bisa menutupi rasa kecewaku. Harapanku yang terlalu dalam bersama Rama kini pun pupus.
Aku mencoba menghindari segala bentuk pertemuan dengan Rama, menghapus kenangan yang terlanjur dia pupuk dalam setiap ingatanku.
Mengingat bahwa telah banyak harapan yang dia berikan namun tak ada satupun pembuktian nyata dari dirinya dan kini malah berakhir menjadi sebuah pertemanan yang benar-benar murni.