Tuesday, August 13, 2013

AKU DAN PILIHANKU (cerpen)

Diposkan oleh Sarashiba
Saat membuka mata, ini kali pertama lagi aku merasa begitu bahagia setelah beberapa tahun ini aku merasakan kehilangan yang teramat dalam.

Jibran--mantan terindahku, entah dari mana harus ku jelaskan keindahan itu, tetapi memang hanya dia yang tak pernah bisa ku lupakan.

Puncak menjadi saksi bisu pertemuan kami kembali, bersama kedua temanku yang lain menginap di salah satu villa di daerah puncak. Jibran masih berstatus sebagai kekasih dari wanita lain, tapi entah mengapa setelah beberapa tahun tak berkomunikasi sedekat ini, dia mengajakku kembali untuk menikmati pemandangan malam bersama.

Aku begitu kaku berada disampingnya, merasakan hangat di pipiku dan mungkin wajahku sudah mulai memerah.

Aku masih setia dengan status lajang, entah aku terlalu sering meremehkan laki-laki sehingga di mataku laki-laki itu seperti pakaian yang kapanpun bisa ku ganti. Tapi setiap manusia mempunyai titik jenuh dan inilah titiknya, sudah hampir empat bulan ku nikmati kesendirian ini.
"Renna, apa yang kamu rasain?" Tanya Jibran yang sedang merebahkan tubuhnya disampingku, ia menatap langit-langit villa.
Dengan sedikit rasa gengsi kukatakan. "Entahlah. Kamu?"
"Bahagia." Jibran tersenyum. "Bahagia kita bisa sedekat ini lagi."

Hatiku mendadak ingin meledak, berdegup sangat kencang. Senang, sedih, bingung rasanya campur aduk. Senang mendengar pengakuan jujur dari Jibran dan sedih menerima kenyataan bahwa Jibran adalah kekasih dari Hani ade kelasku. Bingung? Ya, bingung harus jawab apa.

"Gimana kalau Hani tau tentang kita?" Tanyaku.
"Dia gak akan tahu kalau kita tutup rapat-rapat semua ini." Jibran meraih tanganku. "Nikmati malam ini, Ren. Ini momen pertama kita setelah beberapa tahun hilang kabar dan hilang arah."
Aku mengangguk setuju. "Iya."

Seminggu setelah perjalanan kami, kami berdua semakin dekat, semakin terlihat jelas hubungan kami. 

Hubungan CLBK; Cinta Lama Belum Kelar. 

Aku tak pernah mengira akan sejauh ini kami berdua melangkah setelah sekian lama terpisah, setelah sekian banyaknya aku mencoba menaruh hati pada beberapa pria.

"Mau sampai kapan kita seperti ini?" Aku meminta kejelasan atas status kami yang menggantung.
"Kamu yang sabar, Ren. Aku tinggal nunggu Hani putusin aku, setelah itu aku akan datang padamu." Ucapnya.

Aku hanyut dalam ucapannya dan aku kembali menunggu sesuatu yang belum tau kapan berakhirnya. 

Dua minggu kemudian, ku dengar dia diputuskan oleh Hani. Tapi sakit rasanya saat tau kenyataan bahwa Jibran berkata pada Hani kalau dia memilihku hanya untuk merubahku.

Aku memang pernah nakal tapi sebelum bertemu dengannya aku juga memang sudah berniat untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi.

"Kenapa kamu bilang kaya gitu ke Hani?" Tanyaku.
"Aku cuma nyari kata-kata yang tepat biar Hani gak begitu sakit hati saat putus, aku sayang kamu Renna." Ujarnya meyakinkan.
"Tapi aku sakit, seakan kamu milih aku karena kamu cuma pengen ngerubah aku. Sumpah itu tuh..." Suaraku meninggi.
Jibran lagi-lagi meluluhkan hatiku. "Percaya sama aku, aku serius sama kamu. Aku tau aku salah tapi kita berdua sudah keluar dari satu permasalahan dan sekarang tinggal kita yang jalanin."
Aku menghela nafas. "Yaudah lah, udah kejadian juga."

Waktu untukku menunggu Jibran dan Hani putus sudah cukup lama, saat itu dia menjanjikan ku untuk memperjelas hubungan ini setelah mereka putus namun sudah lewat dua minggu lagi setelah putusnya hubungan mereka, hubunganku dengan Jibran masih menggantung.

"Aku butuh kepastian, mau sampai kapan seperti ini." Ucapku agak membentak.
"Kamu sabar, Ren. Aku gak mungkin baru putus sama Hani langsung punya pacar lagi, aku harus tetap memikirkan pencitraan diriku." 
Aku menahan tangis. "Tapi aku juga butuh kejelasan."
"Untuk apa lagi status kalau kita berdua udah saling memiliki hati satu sama lain." Jibran memang paling bisa memenangkan hatiku.

Aku harus menunggu lebih lama lagi sepertinya, tapi entah mengapa aku menuruti setiap perkataanya walaupun aku tau sangat bertentangan dengan kata hatiku. 

Beberapa pekan kemudian, dia kembali menjanjikanku untuk meperjelas status, namun apa mau dikata sudah lebih dari tiga kali pertemuan kami, dia seakan tak ingat dengan satupun janjinya. Sakit. Sangat sakit yang kurasakan. 

Pada akhirnya memang setiap manusia memiliki titik jenuhnya sendiri. "Ren, i love you." Ucap Jibran.
"I love you too." Jawabku.
"Aku sayang sama kamu, kamu mau kan jadi pacarku lagi? memperjelas hubungan ini?" Jibran mengutarakan perasaannya setalah sekian lama aku menunggu.
Aku tersenyum dan mengecup mesra pipinya. "Maaf, aku sudah mulai bisa keluar dari kotak."
"Maksudnya?" Jibran terlihat heran.
"Aku begitu sayang sama kamu sehingga aku terlihat sangat bodoh. Kamu selalu menjanjikan ini itu sama aku, yang ternyata pada akhirnya aku harus menunggu lebih lama lagi momen-momen seperti ini." Aku menjelaskan dengan sangat hati-hati.
"Tapi aku udah putusin Hani buat kamu, udah lakuin semuanya buat kamu, udah sayang banget sama kamu, terus hubungan kita sampai sini aja?" Jibran menggebu-gebu.
"Itu pilihanmu." Ucapku.
"Bukan! Itu pilihan kamu dengan cara nolak aku. Menolak untuk lanjutin hubungan ini bersama-sama kejenjang lebih serius." Dia masih terlihat kesal.
Aku tersenyum tipis. "Itu pilihanmu, menggantungkan perasaanku begitu lama. Memilih pencitraan dirimu dibanding perasaanku, maaf ini hidupku ini jalanku dan ini pilihanku." 
Jibran menunduk kaku. "Tapi? Berarti? Ah, semua ini sia-sia."
"Iya, kamu sia-siakan hatiku begitu lama. Aku butuh laki-laki yang tegas memilihku tanpa pandang apapun, bukan laki-laki yang ragu memilihku walaupun kamu memang selalu ada disetiap hari-hariku. Jaga dirimu baik-baik, jangan seperti ini lagi pada perempuan lain karena tak semua perempuan sekuat dan selemah aku." Ku lepaskan genggamannya dan memilih pergi.

Jibran terdiam kaku ditempatnya berdiri, sesekali melihatku pergi meninggalkannya. Aku sangat mencintainya namun aku tak bisa lagi menanggung resiko jika suatu saat nanti aku akan dimintanya lagi untuk menunggunya, entah dalam hal apa tetapi aku sudah tidak percaya pada janjinya dan itu yang membuatku memilih pergi walau rasa cintaku begitu besar dan memang hubungan kami sangat dekat. 

Ini jalanku, ku pilih semua jalan dengan penuh pertimbangan. 

Bahagia itu disaat kita sudah bisa keluar dari kotak dan berjalan kedepan tanpa perlu memandang kebelakang lagi. Awalnya memang berat namun akan lebih berat lagi menunggu sesuatu yang sudah pasti namun diperlambat dan menjadi akhir yang menyakitkan.
 

Sarashibananda♥ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos