Wednesday, August 14, 2013

DIBUKTIKAN OLEH WAKTU (cerpen)

Diposkan oleh Sarashiba
"Hanafi." Teriakku dari atas tangga sekolah.
Hanafi berbalik badan, "iya?"
Dengan gugup ku pandangi lantai sekolah tak berani menatap matanya. "Ha.. hai."
"Hai juga, ada apa ya?" Hanafi adalah kakak kelasku, dia siswa laki-laki yang mungkin paling dikenal diseantero sekolah ini, dia menjabat sebagai ketua osis.
"Cuma mau nanya kak, kalau mau ikut ekskul paskibra daftar kemana ya?" Itu bukan pertanyaan dari hati, itu hanya alibiku saja.
Hanafi tersenyum. "Ke saya juga bisa, kebetulan saya salah satu anggota paskibra."
Entah kebetulan apa memang sudah ditakdirkan, alibiku membawa ku semakin dekat dengan Hanafi. "Emm, aku mau daftar sekarang bisa kak?"
"Bisa, bisa. Ikut saya ke ruang paskibra yuk." Ajak Hanafi.
Aku berjalan mengikutinya dari belakang, deg-degan sekali rasanya jantungku ini. "Ini boleh aku bawa atau isi disini?" Tanyaku sesampainya diruang paskibra.
"Dibawa juga gak papa kok, terserah kamu." Senyum Hanafi seketika membuatku termangu.
"Oh kalau begitu aku bawa ya kak, makasih kak." 
Hanafi mengangguk. "Iya sama-sama, secepatnya kembalikan formulir ya, minggu depan sudah mulai latihan."
"Iya kak, siap." Aku berjalan setengah berlari kegirangan. "Awww." Aku tak sengaja menyenggol tubuh Ramon, teman dekatku.
"Eh Tiffa! Jalan liat-liat dong." Teriaknya.
"Maaf Mon, gak sengaja." Kataku sambil tertawa. "Eh mau ke kantin ya? bareng yuk."
Ramon masih terlihat kesal, "itu kertas apaan?"
"Formulir pendaftaran paskibra." Jawabku riang.
"Apaan? Paskibra? Lo gila?" Ramon memberhentikan langkahnya.
Aku menyernyit. "Gila? Gila kenapa?"
"Lo kan..." Ramon terdiam. "Gue ikut paskibra juga deh."
Aku mencubit lengannya. "Ih, jangan kebiasaan deh. Gue ikut ini itu pasti lo juga ikut, gue bisa jaga diri kok."
"Heh! Nyokap lo dari kita kecil udah percayain gue buat jagain lo." Ramon berbicara kencang. "Lagi pula tumben amat milih paskibra, lo kan gak boleh kecapean."
Aku menarik lengannya memilih meja dikantin. "Karena ada pujaan hati gue, kak Hanafi."
"Kak Hanafi ketua osis itu?" Tanya Ramon dengan tatapan tajam. "Heh, jawab kali."
"Iya Ramonku sayang." Aku mengibaskan rambut cepak nanggungnya "Gue mau pesen bakso dulu, lo pasti ketoprak cabenya satu? Iya kan? Pastinya. Bang..." Aku sudah hafal apapun tentang Ramon, aku sudah mengenalnya dari masih duduk dibangku sekolah dasar, orang tua kami dahulunya juga bersahabat dekat maka itu tak heran jika kami sedekat ini.

***
Tepat hari ini aku sudah mulai latihan paskibra. "Eh, Ramon." Aku terkejut melihat Ramon sudah berada disampingku. "Lo gak bilang gue kalo mau ikut paskibra."
"Gue udah bilang dari lo masih megang formulir pendaftaran paskibra!" Bentaknya.
Aku tersenyum melihat kegigihan Ramon untuk menjagaku. "Thanks hunny."
"Ih jangan sok manis deh." Seperti biasa Ramon terlihat jutek.

Hari demi hari aku semakin dekat dengan Hanafi, berawal dari  Hanafi mengantarkan aku pulang ekskul dan dilanjuti dengan pulang sekolah, disisi lain terlihat jelas bahwa ada Ramon yang tak setuju tentang kedekatanku dengan Hanafi.
"Ramon." Aku berlari kearah kamarnya dan meloncat-loncati tempat tidurnya.
"Ada apaan sih? Kebiasaan banget gak ngetuk pintu kamar gue, kebiasaan juga lo main loncat diatas tempat tidur." Ramon kembali menggerutu dibalik meja belajarnya.
"Tadi gue abis di tembak kak Hanafi." Aku dengan tingkah over lebay memeluk guling. "Terus gue terima dan terus gue udah jadi status pacarnya kak Hanafi."
Ramon menunduk kaku, mengetuk-ngetuk pulpen yang berada ditangannya diatas meja. "Lo seneng?"
"Seneng banget!" Aku memeluk Ramon dari belakang. "Lo gak boleh jutek sama kak Hanafi, dia baik banget."
Ramon kali ini tersenyum. "Iya, janji."

Selama hubunganku dan Hanafi berjalan, tak ada konflik sedikitpun. Mesra yang ku rasakan setiap hari dengannya, kata cinta selalu terucap dari bibirnya walau kadang kesibukan organisasinya mengganggu komunikasi kami tapi itu tak menghalangi kemesraan kami berdua. 

Beruntungnya aku bisa bersamanya, setelah apa yang ku ketahui tentang dirinya yang tak mudah mencintai perempuan dan tentang banyaknya perempuan yang ingin berada diposisiku itu benar-benar semakin meyakinkan ku bahwa aku memilih pilihan yang tepat yaitu Hanafi.

Bruuuk....

"Tiffa." Teriak Hanafi.
Aku membuka mataku yang terasa begitu lengket, berat sekali rasanya. "Hei." Ramon. Dia yang pertama kali kulihat. "Apa gue bilang, lo itu gak cocok ikut paskibra."
"Loh, kenapa memangnya?" Tanyaku heran. "Kak Hanafi mana?"
"Lo lupa kalo lo itu gampang sakit? Gampang capek? Gampang pingsan? Jangan dipaksain deh." Ramon lagi-lagi menggerutu.
Aku menjewer kupingnya. "Heh! Kak Hanafi mana?"
"Gak tau, tadi habis anter lo kerumah sakit dia nerima telpon gitu terus pergi." Jawab Ramon. "Kebiasaan banget lo mah, sakit kuping gue."
Aku mengerucutkan bibirku. "Maaf. Berarti tadi dia ada ya? Dia anterin gue? Ih pacar gue baik banget. Mungkin dia sibuk ya, pasti nanti dia kesini."

Ramon hanya terdiam.

"Itu telpon gue bunyi, sini bawain deh." Hape ku berada diatas meja dan berbunyi, aku meminta tolong pada Ramon untuk mengambilkannya. "Halo sayang." Aku mengangkat telpon.
"Tif, Tif, Tiffa." Panggil Ramon yang menatapku heran, melihatku yang mendadak menahan linangan air mata. "Tiffa ada apa?"
"Ramon." Aku memeluk Ramon.
"Eh ada apa?" Tanya Ramon heran. "Kenapa Hanafi?"
"Gue diputusin Hanafi." Aku masih memeluk erat Ramon. "Gue salah apa, Mon?"
Ramon membelai rambutku. "Lo gak salah, besok gue ketemuin dia. Lo harus istirahat, inget!"

Keesokan harinya Ramon menemui Hanafi ditengah lapang sekolah.

"Apa-apaan lo mutusin Tiffa disaat dia lagi sakit kaya gitu?" Ramon mendorong Hanafi yang sedang berlatih basket. "Mau lo kakak kelas gue atau ketua osis disini sekali pun gue gak perduli, lo konyol!"
Hanafi menarik Ramon kepinggir lapangan. "Dia ada disini."
"Siapa? Tiffa masih dirumah sakit." Ucap Ramon sedikit membentak.
"Bukan Tiffa, tapi dia." Hanafi menunjuk kearah teman sekelasnya yang bernama Filda. "Gue cinta sama dia."
Ramon dengan sadar memukul Hanafi dengan kencang. "Bodoh! Lo lebih pilih Filda dibanding Tiffa? Sumpah lo tuh bodoh."
"Lo gak tau apa rasanya cinta maka itu lo gak tau apa yang gue rasaian!" Dorong Hanafi pada Ramon. "Gak usah sok didepan gue."
Ramon dengan suara parau membela diri. "Gue tau, gue tau. Gue tau apa artinya cinta setelah orang yang gue cintai itu mencintai orang lain dan gue belajar untuk ikhlas."
"Tiffa terlalu baik buat gue." Ujar Hanafi.
"Bukan Tiffa yang terlalu baik buat lo, tapi lo terlalu jahat buat Tiffa. Selamat mengejar cinta lo itu, semoga dia gak sebaik Tiffa, karena lo tepat memilih Filda yang kebaikannya jauh berbeda dibanding Tiffa. Jangan sampai lo nyesel dan jangan pernah lo balik kekehidupan Tiffa!" Ramon pergi meninggalkan sayang..

Sudah hampir sebulan aku melihat Ramon lebih sering berdiam diri, dirumah maupun disekolah. Sejak pertemuannya dengan Hanafi pula dia berubah sikap padaku.
"Heh! Ngeliatin kak Hanafi aja dari atas, awas nanti naksir." Gurauku dari balkon sekolah. "Dia tampan, dia aktif, siapapun disekolah ini mengenalnya, beruntungnya gue pernah bahagia bersamanya."
"Hah? Bahagia?" Ramon memutar balikkan tubuhnya.
"Iya bahagia, dia putusin gue karena dia gak bisa bagi waktu sama kesibukannya dan mau mikirin ujian nasional katanya, ya gue setujuin itu." Kataku sambil tersenyum.
"Sini ikut gue." Aku diajaknya ke kelasnya Filda. "Fil, kasih tau tentang Hanafi."
Filda yang sedang duduk dikelasnya terlihat bingung. "Maksudnya?"
"Gimana Hanafi ngejar lo dari kelas satu." Ramon melanjutkan kata-katanya.
"Iya dia emang ngejar gue dari kelas satu, tapi dia bukan tipe gue dan gue gak bisa nerima dia." Ucapan Filda membuatku merasa bodoh. "Hanafi itu bodoh, udah punya lo tapi malah mutusin lo cuma buat gue." Lanjutnya kini padaku.
Filda sebenarnya baik, namun memang kurang bisa menjaga ucapannya dan tidak terlalu peduli dengan apa yang orang rasakan, dengan jujurnya filda mengeluarkan kata-kata itu.
Setelah pulang sekolah aku dan Ramon menemui Hanafi diparkiran sekolah. "Kak Hanafi." Panggilku.
"Hei Tiffa, iya ada apa?" Senyumnya mencoba menggodaku.
"Makasih atas kebohongannya. Aku sudah tau semuanya, semoga kakak bisa dapetin kak Filda ya." Ucapku dengan berat hati. "Suatu saat kakak akan mengerti bagaimana rasanya dicampakkin, aku selalu berdoa untuk kakak agar kakak gak merasakan apa yang aku rasakan."
Kemudian lewat Filda bersama kekasihnya. "Hanafi, Tiffa, Ramon gue balik duluan ya."
Wajah Hanafi berubah kaku. "Tiffa."
"Gak usah merasa bersalah kak, aku ikhlas. Kalau Filda yang kakak cinta, kejar! Jangan lagi kakak mencari pelampiasan, takutnya yang kakak lampiasan benar-benar mencintai kakak dengan tulus melebihi cinta kakak pada Filda. Aku pulang ya kak.... Ramon ayo." Aku dan Ramon berjalan bersama melewati Hanafi yang masih berdiam diri didepan motornya.
"Lo kuat banget." Ucap Ramon.
"Iya gue kuat karena ada yang selalu nguatin gue. Makasih, Mon. Gue sayang sama lo." Aku rasa ini sudah saatnya, melupakan siapa yang kucinta demi dia yang mencintaiku, walaupun cintaku tak sebesar pada Hanafi namun aku yakin kalau Ramon lah yang akan menjaga hatiku dengan tulus.
Ramon tertawa kecil. "jangan bikin gue ge-er deh."
"Serius, Mon." Aku menggenggam tangannya. "Dengan lo mencintai gue dalam diam itu sebenarnya udah cukup bukti lo mencintai gue dengan tulus dan tanpa berharap imbalan."
"Maaf ya gue gak jujur tentang Hanafi sejak awal gue tau dia cintanya sama Filda, gue cuma takut lo..." Aku menempatkan telunjukku dibibirnya.
"Karena lo gak mau gue sakit, gue tau itu." Ramon tersenyum manis padaku. "Ramon, i love you."
Ramon merangkulku. "Tiffa, i love you too."

Aku selalu menyebutnya dengan; pasangan badut. Kami berdua lucu, paket lengkap. Sahabat, musuh, kekasih. Ramonku sayang

 

Sarashibananda♥ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos