Monday, August 12, 2013

MY WEDDING DAY (cerpen)

Diposkan oleh Sarashiba
"Selamat, ya!" Teriak Gisela sahabat terbaikku. "Ini akhir perjalanan cinta lo, Mel." Gisela memeluk.
Aku dengan wajah datar menghela nafas lalu tersenyum. "Iya, terima kasih." Pelukku balik.
Dengan gaun putih di balut dengan hiasan mahkota dari bunga melati, aku duduk di depan cermin menatap tajam mataku melalui pantulan kaca. Kosong. Itu yang ku lihat dari pancaran sinar mataku sendiri.

Tatapan penuh harap dan penuh dengan tanda tanya.
"Hey! Jangan bengong. Itu udah cantik banget, yuk turun." Ajak Gisela.
Aku mengangguk kaku mengiyakan perkataannya. 

Tepat hari ini adalah hari seserahan menuju acara pernikahanku bersama Dio, pasanganku. Aku sudah hampir lima tahun menjalani hubungan bersamanya, ditambah dua tahun sebelum aku dan Dio kembali menjalin kasih. Awal hubungan kami itu adalah pada saat masih duduk dibangku SMA kelas dua dan kami sempat hilang kontak selama tiga tahun. 

Tetapi mungkin karena memang Dio adalah jodohku maka setelah itu kami di pertemukan kembali, menjalani hubungan yang lebih serius selama lima tahun ini. Dan hari ini adalah hari terakhir masa lajangku karena esok hari aku akan berstatus seorang istri, yap! Istrinya Dio.

Entah mengapa hari ini terasa sangat membosankan untukku pribadi, sudah sejak dari aku membuka mata dipagi hari. Sama sekali serasa tak ada gairah untuk beranjak dari tempat tidur.

*** 
"Melia." Bisik Gisela. "Mel, jangan bengong. Kita udah ditangga dan keluarganya Dio udah ngeliatin lo itu, lo malah bengong sih."
Aku terkesiap saat menyadari bahwa sudah berada di ambang tangga dan sudah ada Dio berada tak jauh dariku sedang menatap penuh semangat.

Ibu menuntunku untuk kembali menuruni anak tangga.
"Kehadiran kami semua di sini untuk memberikan ini kepada keluarga calon sanh mempelai wanita, yang Insyallah esok pagi akan di adakan acara akad nikah. Untuk menikahi anak kami Dio dengan anak bapak, Melia." Ucap Ayahnya Dio. 
Seserahan pun segera di laksanakan untuk mempercepat waktu, Dio dari bangkunya terus menatapku sambil tersenyum dan aku ikut terus membalas senyumannya--malu-malu.
"Kamu lesu banget, yang." Sapa Dio yang menemuiku di balkon rumah.
"Eh, kamu. Iya aku kurang enak badan kayanya." 
Dio memelukku hangat. "Mungkin itu salah satu penyakit calon pengantin yang akan menikah."
Aku merengkuh jemarinya, "mungkin." 
"Kamu istirahat yang cukup, besok pagi kamu liat aku ucap ijab qobul." Senyumnya sangat manis. "Calon istriku gak boleh sakit."
"Iya, kamu juga ya." Aku menatap tatapan tulusnya. "Besok gak boleh gerogi."
"Pasti." Jawabnya.
***

Acara seserahan pun selesai. Dio dan keluarganya pulang setelah itu. Aku membersihkan wajahku dengan pembersih wajah sambil berdiam diri di atas tempat tidur.

Gisela yang sibuk memainkan hapenya mendadak bangun dan menjulurkan hapenya kearahku."Ada sms nih, buat lo." 

Aku meraih handphone-nya dengan malas.

Saat membaca sms yang Gisela tunjukkan, tubuhku seketika terasa dingin. Aku diam seribu bahasa, menatap lekat-lekat layar handphone.
"Itu Bobi kan?" Tanya Gisela. "Sahabat lo jaman SMA itu? Yang kata lo suka ngecengin lo pake kata-kata pedes, bukannya dia temen deketnya Dio juga ya?" 

"Eh bel bunyi tuh." Lanjut Gisela saat melihatku diam.
Dengan segera aku beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu rumah.

Dan...
"Lo kemana aja?" Aku mendorong tamu-ku dengan air mata yang sudah berjatuhan di pipi. "Lo pergi, lo ngilang gitu aja."
"Gue selalu ada buat lo, Mel." Jawab Bobi menggenggam tanganku. "Jangan nangis, gue kesini bukan mau liat lo nangis."
"Lo mau apa kesini, Bob?" Tanyaku yang masih menangis.
"Gue mau liat dua sahabat gue menikah, liat kalian berdua bahagia." Senyum Bobi merekah dari bibirnya.
Tangisku semakin tak tertahan. "Lo gak ngerti, Bob."
"Gue ngerti, Mel." Jawabnya dan menyeka air mataku dengan jemarinya. "Kita berdua saling sayang."
"Lo telat." Aku kembali mendorongnya pelan. "Besok... besok gue..."
"Gue tau. Besok lo sama Dio akan menikah, karena itu gue dateng kesini." Bobi menarik tubuhku dan memelukku erat. "Gue pergi karena emang udah seharusnya gue pergi."
"Gimana sama perasaan gue, Bob?" Tangisku semakin pecah "Semakin dekat pernikahan gue, semakin gue yakin bukan Dio yang gue cintain. Bukan Dio yang gue mau-hidup-bersama."
"Terkadang hidup itu memang gak sesuai dengan apa yang kita harapkan, Mel. Terkadang lo juga harus jalanin apa yang bukan pilihan lo, lo harus menghadapi setiap kenyataan yang ada walaupun itu pahit." Jelas Bobi. "Jalanin semua yang udah lo mulai, jaga baik-baik setiap hal yang udah menjadi milik lo, jangan pernah lo menatap sesuatu dari sisi egois lo. Gue memang sayang sama lo, Mel. Sayang banget." Bobi kini ikut meneteskan air matanya pelan.
"Tapi kita saling sayang, Bobi!" Pekikku. "Apa lo gak mau pertahanin rasa sayang kita ini? Kita masih punya kesempatan."
Bobi menggeleng cepat. "Lebih baik gue pergi menjauh dari pada gue memaksakan kehendak gue, keegoisan gue dan menyakiti banyak orang-orang di sekitar lo dan Dio, terutama mengorbankan perasaan Dio."
Aku menghela nafas. "Berarti selamanya kita gak akan bisa satuin rasa sayang ini? Iya bob?"
"Jodoh pasti bertemu, Mel." Bobi mencium keningku. "Entah itu kapan ataupun bagaimana jalannya, yang pasti lo tetep harus jalanin apa yang udah lo jalanin sekarang."
"Sekarang lo mau pergi lagi?" 
"Besok. Setelah gue menyaksikan akad nikah lo dan Dio." Bobi melangkah mundur. "Selamat menempuh hidup baru, Mel."

Tanpa bisa bicara, aku menangis di depan pintu rumah. Tangisku menjadi-jadi. Bobi--mungkin dia alasan kenapa aku tak merasa bahagia di acara lamaran hari ini. 

Bobi pergi dengan senyuman khasnya, aroma tubuhnya masih seperti enam tahun yang lalu terakhir ku bertemu dengannya dalam acara reuni sekolah. 

Gisela yang mengintip dari balik tangga, menyambut hangat tubuhku, aku terjatuh dipelukannya. "Jodoh pasti bertemu dan jika dia bukan jodoh lo pasti dia akan hilang dari memory lo, Mel." 

***

Detik-detik di mana keluargaaku dan Dio tunggu-tunggu akhirnya tiba. Aku yang masih saja memikirkan Bobi masih belum bisa terlihat antusias menyambut pernikahanku sendiri, Dio yang terlihat begitu bahagia menyambut teman-teman dan keluarganya membuatku merasa sangat bersalah.

Bobi benar, aku tak boleh egois mengorbankan perasaan dan kebahagiaan Dio hanya demi kisah cinta dalam diamku pada Bobi dimasa lampau.

Mungkin aku hanya butuh kepastian dari Bobi selama ini.
"Aku cinta kamu, istriku." Kecup Dio di keningku seusai ijab qobul.
Dari kejauhan ku lihat Bobi mengenakan batik coklat tersenyum manis kearahku, ku balas senyumannya dan menghela nafas panjang. 

Kemudian aku kembali memandang Dio. "Aku cinta kamu juga, suamiku."
 

Sarashibananda♥ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos