Ayasha beridiam diri didepan mesin kasir. Ia memandangi kerumunan meja nomor 5, disana ada sekawanan manusia yang tak berhati---begitu biasa ia sebut sekawanan itu.
Ada kurang lebih enam orang , ditambah satu laki-laki yang jelas-jelas sangat dikenalnya. Abudan---mantan kekasihnya, mantan yang pernah dipacarinya selama tiga tahun. Tiga tahun kosong tanpa cinta atau mungkin bisa saja disebut dengan tiga tahun penuh dengan cinta yang palsu. Apapun itu, bagi Ayasha keduanya tak ada beda.
Dadanya berdegup kencang, diujung hatinya masih terselip kebencian. Maka dari itu tak heran kalau detik ini ia sedang menahan rasa sakit dibagian dadanya. Sakit hati. Lebih sakit dari apapun; menurutnya juga.
Ayasha hanya seorang kasir yang merangkap menjadi seorang pelayan disebuah Coffee Shop, keluarganya yang kurang dari cukup mengharuskannya bekerja serabutan sembari berkutat serius dengan pendidikannya.
Sekarang Ayasha sedang berfokus pada lelaki keriting, bertubuh kuning langsat, berbulu mata lentik dan punya wibawa yang angkuh. Setelah hampir setahun tak ada kontak, ini kali pertama mereka dipertemukan kembali----Abudan.
Dipertemukan pada posisi yang masih sama seperti tiga tahun lalu. Ayasha-Abudan-Ariesta. Ayasha menyebutnya dengan kisah Triple A; Triple A Brengsek.
Setahun yang lalu, posisinya Ayasha-Abudan-dan-SiPelacur-Ariesta.
Tapi sekarang. SiPelacur-Ariesta-dan-SiBiadap-Abudan-lalu-Ayasha. Hebat bukan? Hanya dalam kurun waktu setahun semua posisi sudah jadi berbeda.
Ayasha mengatur nafasnya yang mulai memburu, tanpa perlu diingatkan oleh kenangan buruk akan Triple A, hal itu akan selalu ia ingat apalagi harus berada disatu tempat oleh mereka.
Abudan dan Ayasha saling bertukar pandang. Tatapan Abudan terkejut kala melihat Ayasha, tetapi Abudan tetaplah Abudan yang masih tetap biadap dan brengsek. Abudan mendekatkan tubuhnya ke arah Ariesta, dan Ariesta menyenderkan kepalanya dibahu Abudan.
Sungguh menggelikan bagi Ayasha menyaksikan mereka yang dulunya berstatus selingkuhan, kini malah bermesraan. Mereka berdua menjilat ludahnya sendiri dan memakan kotorannya sendiri pula; masih tetap kata Ayasha.
Ayasha anak yang kritis, realistis, idealis dari dalam. Dari luar ia kelihatan lebih lembut dan jarang menunjukkan emosinya.
Ariesta memanggil pelayan, kini Ariesta melihat kalau sang pelayang adalah SiMalang-Ayasha. Ariesta mengambil kesempatan ini, dan mau tak mau karena merasa dirinya dipanggil, sebagai pelayan---Ayasha harus segera mendatangi costumer.
"Selamat siang, mau pesan apa?" Ucap Ayasha.
"Gue mau pesen kopi penyembuh luka ada gak?" Jawab Ariesta seraya terkekeh.
Dengan santai Ayasha menjawab. "Gak ada, mba. Adanya kopi bikin orang tobat. Minat?"
Ariesta yang merasa disinggung, masih tetap tak mau kalah. "Tobat ya? Belum minat. Kalau gitu, ada kopi yang bisa bikin move on, gak?"
"Ada, mba. Mau? Mba, cocok minum itu." Jawab Ayasha masih santai.
Ariesta menghela nafasnya panjang. "Kok gue? Bukannya lo lebih butuh?"
"Saya? Saya udah move on, mba. Soalnya saya gak pernah gerecokin hubungan mantan saya lagi."
"Terus maksud lo tadi kalau gue cocok minum kopi move on itu apa???" Pekiknya sambil melotot.
Ayasha menggigit bibirnya pelan, ia berfikir sejenak akan menjawab apa. "Hmm, biar mba move on, gak gerecokin mantan lagi."
"Tapi dia kan bukan mantan gue, dia kan sekarang cowo gue. Yang belum move on kan elo!" Ariesta berdiri menghadap Ayasha.
Seluruh pengunjung menatap ke arah mereka. "Lah... Kok mba jadi baper, sih? Mba ngerasa tersinggung atau gimana sampe nyolot depan umum kaya gitu?"
"Heh babu kopi, dengerin ya! Gue sama lo tuh beda level. Cowo lo juga kok yang ngejar-ngejar gue dulu, harusnya lo mikir kenapa cowo lo bisa ngejar-ngejar gue. Dari segi segalanya gue melebihi lo, pergaulan gue, pendidikan gue, attitude gue. Sekali lagi ya, gue gak level sama cabe kaya lo." Ariesta tertawa sinis. "Harusnya lo malu ketemu gue, udah dihamilin tapi disuruh gugurin, udah digugurin ngeluh mau mati tapi malah cowo lo have fun sama gue. Mending lo ngaca! Seburuk apa diri lo sampe cowo lo ngelakuin itu ke elo."
Ayasha menampar pipi besar-kenyel-lembek-gak-bangetnya Ariesta. Itu pipi apa perut babi. "Lo bilang lo gak level sama gue? Tapi dengan cara lo main-main sama cowo brengsek ini yang dulunya pernah jadi pacar gue, itu cukup membuktikan kalau segala kelebihan lo gak berarti apa-apa ketika lo gak punya hati yang baik. Gue tau gue dibawah segala-galanya dari lo, dan malah mungkin itu hanya sebatas fikiran lo doang karena gue menikmati hidup gue. Hidup gue ribet cuma sejak kenal si Abudan brengsek ini, gak lebih. Jadi lo memang lebih cocok bersama, sama-sama gak punya hati yang baik. Yang satu doyan selingkuh yang satu kedoyanan jadi selingkuhan, great!!!"
Abudan angkat bicara. "Udah deh, gak usah banyak ngomong. Mending lo bikinin kopi yang mau kita pesen."
"Maaf boss besar, saya cuma pelayan dan kasir bukan koki." Timpal Ayasha.
"Lo kerja karena butuh uang kan?"
Ayasha paham alur bicara Abudan. "Ya, saya butuh uang. Kenapa? Mau bayarin cafe ini beserta isi dan pelayannya?"
Abudan terkekeh pelan. "Gue mau bayarin lo aja deh, gimana?"
"Berhenti punya sifat yang apa-apa ngerasa bisa lo beli dengan uang. Cewe lo beli, harga diri orang lo beli, perasaan orang juga lo ganti rugi pake uang, hati orang juga lo bayarin, perut orang, bahkan anak lo sendiri lo tuker pake obat yang bisa lo beli pake uang. Tuhan bisa aja ambil segalanya dari lo, dan suatu saat nanti keangkuhan lo gak ada artinya lagi. Yang akan lo datengin saat lo jatuh cuma orang-orang yang mau membantu lo tanpa ingat segala keangkuhan lo." Tegas Ayasha seraya mengacungkan jari kearah wajah Abudan. "Jadi saran gue, duit lo, lo abisin aja buat catok rambut lo yang keriting itu sampe lurus dibandingkan lo ngoceh dengan angkuh mau beli ini beli itu. Gak guna!"
Abudan diam tak bergeming, ia shock melihat Ayasha yang semakin kuat. Kuat hatinya. Bermental baja. Pedas bicaranya.
Seling lima belas menit kemudian, Ayasha kembali ke meja nomor 5 tersebut. Disana sudah tak ada siapapun, sedangkan ia membawa tujuh gelas kopi. Dimeja tak ada uang sama sekali. Ia dikerjai.
Ayasha menatap kearah nampan yang berjejer rapih gelas kopi, hatinya sedih. Bukan karena dipermalukan didepan umum seperti tadi, tapi uang gajinya akan dipotong untuk membayar tujuh gelas kopi tersebut.
Satu gelas kopi seharga 30 ribu. Sedangkan uang harian Ayasha di Coffee Shop tersebut adalah 30 ribu. Jadi kesimpulannya; Ayasha tak mendapat uang harian selama tujuh hari.
Air matanya menetes. Ia kembali menaruh ketujuh gelas kopi kedalam dapur, satu persatu temannya mangambil bagian. Aji mumpung.
Ia kembali berdiri menatap Coffee Shop yang ramai pengunjung. Semua sedang saling bercengkrama. Seperti lautan tawa didalam sini.
Ia mendengus seraya menyalakan lagu Adam Levine - Lost Stars. Dari balik meja kasir.
Please don't see just a boy caught up in dreams and fantasies
Please see me reaching out for someone I can't see
Take my hand let's see where we wake up tomorrow
Best laid plans sometimes are just a one night stand
I'd be damned Cupid's demanding back his arrow
So let's get drunk on our tears and....
Bait demi bait ia hayati, dadanya semakin terasa sakit. Kini ia satu padukan rasa sakitnya. Sakit melihat Abudan membela Ariesta. Sakit menerima perkataan Ariesta. Malu didengar oleh pengunjung ketika aibnya tersebar. Gaji seminggu terpotong sia-sia.
Air matanya mulai deras.
Kencangnya suara musik tak serta merta meredakan kesedihannya, kencangnya hingar bingar di dalam Cafe pun tak membuatnya merasa lebih baik.
"Gak ada manusia yang mau dilahirin serba kekurangan. Gak ada." Ucapnya parau seraya mengusap air matanya yang bergelimang diujung hidung.
God, tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?
Tangisnya semakin tak tertahankan setelah ia diam berusaha mendengarkan musik. "Dan gak ada cewe yang mau di khianatin, dihamilin, disakitin terus ditinggalin. Gak ada."
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tangisnya kini pecah.
"Gak ada yang mau jadi gue bahkan diri gue sendiri, tapi gue gak punya jalan lain selain survive."
Tak ada yang tahu Ayasha menangis.
Teman-temannya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ditempat yang ramai ini, akan selalu ada hati yang kesepian. Ayasha yakin bukan hanya dirinya, tapi mereka semua.
Beruntungnya---mereka semua mampu menutupi kesepiannya dengan tawa yang keras nan lantang. Lain dengan Ayasha, ia tutupi kesepiannya dengan melamun biasanya, dan dengan menangis khusus hari ini.
"Yasha, tolong bawa ini ke meja delapan." Ujar salah satu atasannya. Dengan cepat ia menyeka air matanya.
Ia membawa segelas Ice Coffee Latte menuju meja delapan. Disana ada sesosok laki-laki, ia duduk sendirian. Hanya ditemani oleh kaca mata yang tergeletak dan laptop yang menyala.
"Makasih, mba." Kata laki-laki tersebut. Ia memalingkan wajahnya kearah Ayasha yang sedang menaruh gelas keatas meja. "Kamu?"
Ayasha menegakkan tubuhnya. Ia tertegun, tapi ada senyum kecil tersungging diujung bibir.
Dia. Dia orang yang juga kesepian ditengah keramaian.
"Hai...." Sapa Ayasha pelan. Mereka berdua saling tatap dan tersenyum.