Friday, February 22, 2019

Alasan: Chapter 01 (Cerbung)

Diposkan oleh Sarashiba
Karakteristik Bali lebih dikenal dengan hiruk-pikuknya yang selalu hura-hura tanpa mengenal siang dan malam, membuat Prabu Sastrawan, seorang pria berusia 32 Tahun yang baru saja kembali dari menyelesaikan pendidikannya di Universitas Harvard, memilih untuk kembali. Ia rindu dengan keramaian konyol yang dibuat para pelancong. Padahal tanpa mereka sadari kegembiraan mereka adalah salah satu ladang uang bagi para penduduk lokal Bali. Lucu memang, bahkan Prabu saja menertawai para pelancong-pelancong yang sibuk berpose di segala sudut Bali tanpa kenal lelah sembari menenteng kaleng-kaleng bir yang mereka anggap itu salah satu gaya terkeren masa kini.

Dengusan, cibiran dan seringaian kecil Prabu memiliki banyak arti. Tak ada satupun yang dapat memahami selain Maura Bianika. Seorang gadis asal Jakarta yang pernah datang ke Bali hanya untuk melepas penat dari kisah cintanya yang kandas, namun malah berakhir semakin terpuruk karena memilih pelarian yang salah. Gadis itu pergi ke klub malam selama tiga hari tiga malam tanpa pulang ke hotel sama sekali. Matanya bengkak, garis eyeliner di sekitar matanya berantakan, bibir merahnya memucat, rambutnya acak-acakan, persis seperti zombie.

Prabu tahu, meski ia melihat dan mengamati Maura dalam kondisi dan situasi yang buruk, hatinya tak pernah meleset dalam memicingkan anak panah ke sasarannya. Maura dibuat mabuk kepayang olehnya. Berbunga-bunga lagi hati gadis itu setelah bermalam di klub malam sepanjang hari. Jatuh hati pada pria yang sebenarnya membenci keramaian, menertawakan zaman yang semakin tak karuan. Di ajaknya Maura ke desa tempat di mana Prabu lahir dan tumbuh dewasa, Desa Ubud, Bali.

Sebuah wiilayah yang diapit oleh dua kabupaten besar, yakni Gianyar dan Tampaksiring. Wilayah pedesaan yang asri dan teduh. Tempat di mana ribuan seniman Bali menetap. Sebuah kolaborasi antara Tuhan dan penduduk yang menjaga keasrian Ubud dari jamahan tangan-tangan penguasa yang haus akan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi nan besar. Hanya ada tanaman, tumbuhan yang hidup dengan damai bersama dengan para jangkrik dan kodok-kodok yang berdengkung nyaring tanpa henti seperti irama musik kekinian yang selalu diperdengarkan di wilayah Kuta.

"Hah," desah Prabu sesampainya di tengah-tengah hamparan sawah. Ia menarik napasnya panjang seraya menutup mata. Menikmati betapa oksigen yang bersih sangat penting ketimbang ketamakan dan keserakahan akan uang. Apa gunanya uang jika paru-parumu tidak sehat? Sekiranya begitu pemikiran Prabu.

Dipandangnya pohon kelapa hijau yang menjulang tinggi dan agak miring. Dilihatnya pula tiga buah kelapa yang siap jatuh. Dihitungnya jarak, masa dan perkiraan kilogram buah kelapa tersebut. Jika ia lewat satu hari dua jam tiga puluh menit satu detik saja, kelapa itu akan jatuh menghempas kepalanya. Mungkin, batin Prabu. Ini hanya sebatas perkiraan sok tahunya saja.

"Prabu!" Ada yang memanggilnya dengan riang. Suaranya nyaring, namun serak. "Sudah pulang rupanya?"

Prabu tersenyum malu. Menunduk sejenak, lalu menjawab, "Seperti yang kau lihat."

"Gayamu tak berubah! Aku pikir anak yang lama hidup di luar negeri bisa berubah seperti Justin Bleber. Penuh tato, tindik sana-sini, sepatu gede-gede macam talenan, kaca mata banyak bentuk bundar kaya jengkol macam Mbok-mu makan saban hari. Tapi kau tidak."

"Saya ndak sesuai dengan ekspektasi, Bli, yang berpikir akan banyak perubahan. Tapi meski begitu, tampilan saya saat ini... Becik napi ten?" (Bahasa Bali: Bagus apa nggak?)

Bli Wayan terkekeh mendengar guyonan Prabu. Mereka tertawa sepanjang hari. Bli Wayan mengantar Prabu hingga ke dalam rumah dan berdiam diri di sana sambil menikmati pemandangan sawah yang terhampar luas di depan halaman rumah Prabu. Sesungguhnya jarak usia mereka cukup jauh, hampir sepuluh tahun, dan seharusnya Bli Wayan bergaul dengan ayahnya Prabu. Namun, Bli Wayan menolak untuk dianggap tua. Selera fashionnya sungguh kekinian, berusaha mirip seperti Justin Bleber, katanya. Yang ia maksud adalah Justin Bieber. Ia penggemar berat Justin. Tato-tato temporer di tangannya juga terinspirasi dari Justin, tapi hanya berani sebatas tato temporer. Tatonya selalu berganti-ganti gambar. Minggu pertama gambar Budak, anak kambing kesayangannya. Minggu kedua gambar, Justin Bieber versi bengok sana-bengkok sini. Minggu ketiga gambar doraemon, yang katanya itu adalah pesanan keponakannya yang menyukai seni tato.

"Oh, ya, Prab. Sebulan yang lalu ada gadis yang datang ke kedai kopiku," kata Bli Wayan setelah Prabu duduk di sampingnya seraya membawa dua laptop. "Namanya Maura."

Sikap Prabu berubah. Duduknya menegang. Matanya menerawang ke depan. Kosong. Berusaha menembus semua ingatan-ingatan tentang Maura. "Terus?" jawabnya, pura-pura acuh.

"Katanya dia mau menikah," lanjut Bli Wayan seraya menyesap teh panasnya.

Ya, Prabu sudah bisa mengira apa yang  hendak disampaikan oleh Maura. Prabu paham usia mereka sudah dianggap layak menikah, atau bahkan seharusnya sudah memiliki satu orang anak. Budaya yang tak pernah bisa dihapus dari pikiran terdalam para orang tua di Indonesia ini. Menikah hanya karena sudah lanjut usia, bukan karena sudah menemukan cinta sejati.

"Dia nitipin nomor teleponnya. Katanya, kalau kau sudah sampai di Indonesia, secepatnya hubungi dia."

Prabu menghela napas panjang. Apa yang harus dikomunikasikan lagi sebenarnya?

***




Cerbung (Cerpen Bersambung....)
Ada yang minat baca lanjutannya?
Dm IG @sarashibananda ya 


 

Sarashibananda♥ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos