Menjadi dewasa itu melelahkan.
Pagi ini lagi dan lagi aku dihadapkan oleh ocehan atasan yang rasanya tak pernah puas dengan kinerja kerjaku. Sekali dua kali, aku masih bisa menerimanya, selebihnya aku hanya bisa pasrah. Karena bagaimanapun, aku butuh pekerjaan ini untuk tetap hidup.
"Keluar juga mau kemana? Cari kerja kan gak gampang," celotehku seorang diri. Seraya merapihkan beberapa lembar kertas di atas meja rapat.
Dengan langkah yang tegas dan dengusan napas yang berat, aku keluar dari dalam ruangan menuju meja kerjaku sendiri. Di sana masih ada beberapa berkas yang masih harus ku revisi. Ya, mau bagaimana lagi, begini lah beratnya menjadi seorang editor naskah di sebuah penerbitan. Kerja bagai kuda, kalau kata anak jaman sekarang. Tak kenal lelah, tak kenal waktu, semua serba diburu deadline.
"Sana Aurora, capek ya?"
"Eh." Aku terkesiap oleh kedatangan Mas Gaga, editor senior di tempat kerjaku. Dengan senyum yang tipis, akupun mengangguk iya. "Lumayan, Mas. Ya ... mau di apain lagi kan. Namanya juga kerjaan."
Mas Gaga menyimpul senyum sumringah. "Sebentar lagi istirahat, cari makanan yang seger-seger, yuk?"
"Contohnya?"
"Asinan? Rujak? Atau bakso pedes?
"Bakso pedes, boleh tuh, Mas."
Mas Gaga melirik jam di tangannya sejenak, lalu mengacak-acak puncak kepalaku. "10 menit lagi. Deal, bakso pedes."
Aku mengernyit kaku meski sudah terbiasa dengan perlakuan Mas Gaga yang selalu spontan seperti itu. Mataku lepas begitu saja darinya setelah Mas Gaga pergi, berarti tandanya tak ada perasaan apapun kepadanya. Tidak ada. Tidak akan pernah ada. Aku yakin.
***
Gaga Rafasya.
Pemuda pekerja keras dan ambisius yang sedang berusaha menghabiskan semangkuk bakso pedas meski keringatnya sudah bercucuran dan wajahnya sudah berubah merah padam. Sesekali ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri tentunya.
"Gila sih pedesnya!"
Sambil menyeruput kuah bakso, aku terkekeh. "Udah tau gila kenapa masih dilanjutin?"
"Mubazir, San."
Aku tahu dia bohong.
"Kamu kuat banget makan pedes ih," lanjut Mas Gaga.
"Kamu juga kuat tuh, Mas."
Aku dan Gaga sama-sama melihat ke arah mangkuk bakso yang sudah mulai kosong, lalu kami sama-sama tertawa untuk hal yang sebenarnya tidak lucu.
"Abis ini mau makan apa lagi?"
"Rujak mungkin?"
Mas Gaga hening sejenak, menatap mataku tak percaya. "Kalau aku diare gimana?"
Aku lagi-lagi tertawa. Dan Mas Gaga ikut tertawa.
"Duh, makannya blepetan banget si." Tangan Mas Gaga mengarah ke arah sudut bibirku. Ia menyeka sisa makanan yang tertinggal, kemudian duduk manis dan tersenyum. "Kaya anak kecil, padahal udah tua."
"Masih 24 ya, Mas!"
"Kamu galak kalau bicarain umur," tawanya sambil menyeka bulir-bulir keringat. "Aku yang 26 tahun aja biasa aja."
Aku meraih tisu dan menyeka keringat di pelupuk mata Mas Gaga. "Kamu makan bakso kaya abis di cerein bini deh, Mas! Sampe nangis gi---"
"Stop, San." Mas Gaga menghentikan gerakanku. Ia merengkuh tanganku dengan raut wajah yang mengeras. "Kalau sikapmu begini, aku bisa salah paham."
Aku diam sejenak, berusaha mencerna setiap kalimat Mas Gaga, lalu terbahak-bahak. "Mas, Mas, kamu kok ngomong begitu sih?"
"Ya, karena aku suka sama kamu," lugasnya tegas, "dan aku juga tau kalau yang kamu suka bukan aku."
"Mas, kamu mabuk sambel ya?"
Mas Gaga menggelengkan kepalanya, ia tertawa enggan. "Enggak, aku cuma latihan baca naskah. Kamu sudah makannya? Kalau udah balik ke kantor sekarang yuk?"
"Ayo," jawabku mantap. "Eh, tapi Mas, aku beneran pengen beli rujak deh. Dimana ya?"
"Kamu serius? Enggak kasian sama lambungnya?"
Aku menunduk, menatap perutku yang tampak buncit. "Kasian sih, Mas. Tapi aku pengen yang asem pedes gitu."
Sambil merogoh dompet di depan kasir, Mas Gaga tetap menoleh ke arahku. "Kamu lucu, kaya orang ngidam. Gimana kalau nanti lagi ngidam beneran ya? Jadi penasaran deh."
"Penasaran juga gimana, Mas. Emang kamu suamiku!"
"Jodoh siapa yang tau, San?"
Tatapan itu!
Entah mengapa malah mengingatkanku dengan tatapan seseorang yang sudah tak bisa lagi ku tatap. Hatiku bergetar seketika, tawaku pudar, tubuhku gemetar.
"Eh, eh," pekik Mas Gaga seraya menarik lenganku. "Kamu kenapa, San? Kok mendadak lemes begitu?"
Aku menyentuh dadaku yang gugup. Aku berusaha untuk tetap tenang. "Mas, udah yuk. Balik ke kantor aja."
Mas Gaga dengan cepat menyambar tubuhku yang hampir saja berlari menjauh. "Tunggu dulu. Kamu kenapa sih? Kamu sakit? Kamu jadi pucet gitu. Tadi tuh kamu gak kenapa-napa ya, San."
"Mas," ucapku pelan dan berat. Entah mengapa ingin rasanya marah, tapi aku sadar, bukan Mas Gaga yang seharusnya menjadi tempat pelampiasanku marah. "Aku mau poop."
Aku berbohong, demi kebaikan bersama.
Mas Gaga terpingkal-pingkal sendirian, meninggal raut wajahku yang semakin mengeras. "Fix, kamu unik!"
***
"Gimana? Udah lega?"
Ah, ini yang namanya penyesalan. Menyesal karena bicara tanpa berpikir. Berbohong untuk sesuatu yang sensitif. Aku hanya bisa menyeringai malu. "Udah, Mas. Lega kok."
"Sana, Sana, kamu lucu," seru Mas Gaga dari meja kerjanya.
"Aku lanjut kerja dulu ya, Mas. Masih banyak naskah yang harus di edit."
Saat aku hendak pergi, Mas Gaga memanggil. Ia memberikanku obat diare dan sebotol air mineral. "Jangan ngopi dulu. Diminum obatnya. Habisin air putihnya. Oke?"
Mendengarnya saja, aku ingin sekali melempar tubuhku ke hutan. Ke tempat di mana aku bisa duduk menyendiri menghindar dari perasaan malu.
"Ah, oke. Baik, Mas. Makasih, Mas," jawabku tergagap-gagap seraya meraih pemberian Mas Gaga.
Aku kembali melangkahkan kaki sambil sesekali memejamkan mata dan mengutuk diriku sendiri. Bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa harus poop yang menjadi alasan di antara ribuan alasan lainnya?
"San! Aku beliin kamu air kelapa nih. Tadi Mas Gaga bilang kamu mules-mules makan bakso pedes. Gak mencret kan?" teriak Nia, rekan satu tim yang duduknya berhadapan denganku.
Kurnia yang duduk di sebelahku angkat bicara. "Sssst! Nia, kalau ngomong kenceng amat."
"Udah, udah! Jangan dibahas. Gue baik-baik aja."
Suasana pun mendadak hening.
Aku duduk dengan perasaan malu. Kembali mencoba fokus pada layar komputer, namun ponselku berdering. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Sana.
Begitu isi pesannya.
Lalu ku balas, siapa?
Sambil menyibukkan diri dengan pekerjaan, aku tetap menanti balasan dari nomor tak dikenal tersebut. Beberapa menit berlalu tak kunjung mendapat balasan, maka akupun mengalihkan perhatian sepenuhnya untuk naskah penulis baru yang novelnya hendak diterbitkan.
Sampai pukul tiga sore tak juga dibalas.
Sampai pada akhirnya aku melupakan pesan tersebut.
Dua jam sebelum jam pulang kerja, Mas Gaga dengan isengnya mengirimiku email yang bertuliskan, pulang bareng yuk?
Aku terkekeh, menoleh ke arah meja kerjanya tepat di sudut ruangan. Kami saling melempar tatap. Aku mengangguk iya dan Mas Gaga menyimpul simbol love dengan ibu jari dan jari telunjuknya ala ala korean halyu. Lucunya, aku spontan membalas persis seperti apa yang ia lakukan.
"Cie, love sign gitu sama editor senior terpopuler di seantero kantor ini," celetuk Kurnia, bisik-bisik. Rupanya sedaritadi ia mempehatikanku.
"Lucu abisnya," jawabku spontan. Kemudian berpikir dua kali, apanya yang lucu?
Kurnia mendorong kursinya mendekat kepadaku. "Udah jadian?"
"Jadian apaan sih?"
"Ya, pacaran!"
"Belum lah, Kur."
"Kalau belum berarti ada kemungkinan jadian dong ya?"
Aku melirik sebal. "Enggak gitu, Kur Kur!"
"Kok sebel gitu sih? Mau-mau tapi malu ya?"
"Gak tau ah," tukasku. Aku mendorong kursi Kurnia balik ke tempatnya. "Udah sana kerja lagi!"
Kurnia cengengesan sendiri melihat wajahku yang memerah. Padahal sejujurnya tak ada sama sekali niat untuk bisa lebih dekat dengan Mas Gaga sejak awal bekerja. Tapi entah mengapa, digoda seperti itu membuatku malu sendiri.
"Jadian aja, sebelum direbut Mba Gina, anak direktur utama kita," lanjut Kurnia dengan nada meyakinkan.
Dan aku mendadak penasaran. Mba Gina?
***
Mas Gaga sudah lebih dulu pergi ke parkiran motor. Motor vespa berwarna putih keluaran terbaru begitu mencolok di parkiran, membuatnya tak henti-henti diledek 'kegayaan' oleh beberapa teman dan satpam-satpam di sana. Tapi Mas Gaga tak pernah sekalipun memusingkan omongan orang, hal itu terlihat sangat jelas saat ia hanya tertawa dan bahkan meledek balik mereka.
Dengan langkah perlahan aku menghampirinya. "Mas."
Mas Gaga memutar balik tubuhnya, melihatku dan tersenyum. "Udah?"
"Udah, Mas."
"Gue balik dulu ya!" kata Mas Gaga pada teman-temannya.
"Balik apa mau jalan dulu nih? Kiwww."
Mas Gaga berseru, "emang kenapa si kalo mau jalan dulu? Sirik aja."
Aku hanya bisa menunduk kaku, tak berusaha ikut dalam obrolan mereka. Setelah Mas Gaga menaiki motor dan bersiap untuk pergi, aku berpamitan pada teman-temannya Mas Gaga.
"Pulang dulu ya, Mas."
"Oh iya, Neng. Hati-hati ya! Kalau Si Gaga nakal, tendang aja."
Aku hanya tertawa, sementara Mas Gaga menjulurkan lidahnya meledek.
"Berisik lu," gerutunya. "Udah ah, cabut beneran ya!"
Sesaat setelah keluar dari halaman kantor, di sepanjang perjalanan, aku dan Mas Gaga lebih banyak diam. Ia mengemudikan motornya dengan pelan dan berhati-hati. Padahal aku salah satu perempuan yang suka diajak ngebut-ngebutan. Rasanya adem.
"Mau langsung pulang aja, San?"
"Emang mau kemana lagi, Mas?"
"Kalau enggak keberatan, aku mau sekalian ajak kamu makan malam."
"Tapi ini kan masih jam lima sore?"
"Ya, jalan-jalan dulu aja. Abis maghrib baru nyari makan," tawanya, ngeles. "Mau gak?"
"Ayo, aja. Tapi mau kemana?"
"Mau nonton gak?"
"Nonton apa?"
"Nonton apa maunya?"
"Aku gak update tentang film, Mas."
"Apa mau belanja?"
Aku tertawa, "kan belum gajian."
"Aku yang belanjain."
"Apaan sih, Mas. Ada-ada aja."
Mas Gaga semakin lama semakin lambat mengemudikan motornya. Sesekali melihat ke arah jarum jam ditangannya. "Mau ajak kamu ngopi, takut mules-mules lagi."
"Mas, jangan dibahas terus...."
"Abisnya lucu, San," katanya sambil tertawa-tawa. "Ke perpustakaan yang ada cafenya aja yuk di Kemang?"
"Boleh deh, Mas."
"Kamu suka baca kan?"
"Suka banget!"
"Suka aku gak, San?"
"Suka, Mas."
Motor tiba-tiba saja oleng.
"Eh, eh, eh," desisku. Hampir saja nyerempet mobil.
Mas Gaga merengkuh dengkul kakiku. "Maaf, maaf, San. Mendadak gak konsen. Kamu sih!!!"
"Lucu kamu, Mas! Aku kan cuma becanda."
"Oh, jadi cuma becanda, San." Kirain beneran...
***
Di perpustakaan cafe, Mas Gaga merekomendasikanku novel Dilan 1990. Aku lantas tertawa. "Kenapa harus ini?"
"Karena aku mau jadi Dilan," jawabnya sambil menarik kursi dan duduk di sampingku. "Kisah cintanya sama Milea manis banget. Aku iri."
"Tapi pada akhirnya mereka kan putus, Mas?"
"Biar putus, tapi di hati keduanya masih sama-sama ada. Kayanya romantis banget aja gitu. Iya gak sih?"
"Apa yang romantis dari perpisahan?"
"Biar raganya saling berjauhan, tapi hati mereka berdekatan."
Aku menghela napas panjang. "Kamu ngalamin banget kayanya ya, Mas?"
"Enggak kok, jangan sampai ngalamin juga. Cuma suka sama kisah dan alur ceritanya. Kang Pidi Baiq keren saat merangkai Dilan 1990!" Mas Gaga terlihat sumringah, lalu berdeham pelan dan mengajukan pertanyaan. "Kalau kamu suka buku apa?"
"Apa aja. Semua aku suka, Mas."
"Kalau disuruh pilih satu, apa?"
"Bukunya Ilanna Tan, yang In a Blue Moon."
"Alasannya?"
"Aku suka aja cara dia membuka sudut pandangku yang lain. Mengajariku untuk tidak terlalu membenci seseorang karena bagaimanapun juga akan selalu ada sisi baik dari orang yang sebelumnya kita anggap jahat."
"Kalau yang aku suka dari In a Blue Moon itu pas bagian si cewek nyium temen cowoknya di depan apartemen, terus pacarnya ngeliat. Ternyata itu salah satu cara balas dendam si cewek biar cowoknya gak sembarangan menilai tanpa penjelasan."
"Iya, iya bener. Aku juga greget pas bagian itu."
"Kamu suka baca, gak ada niatan jadi penulis?"
"Ada kok," jawabku sendu, menundukkan pandangan sekilas. "Tapi belum ada ide mau nulis apa."
"Tulis kisah cintamu aja, San."
"Enggak ada yang menarik, Mas."
Mas Gaga mengubah duduknya ke arahku, ia kelihatan tertarik untuk mendengar. "Contohnya?"
"Ya, banyak. Pahit semua. Gak ada yang berakhir manis."
"Ah, contohnya dong!"
"Kok jadi maksa sih, Mas?"
"Penasaran aku tuh."
Aku terkekeh sambil mengadahkan kepala melihat langit-langit. "Hm, apa ya... Ditinggal gitu aja tanpa penjelasan sih, Mas. Itu yang paling pahit."
"Kasian Sana-ku," gumam Mas Gaga sambil mengelus-elus pundakku. "Terus apa lagi? Di selingkuhin gitu? Atau apa lah. Ada lagi?"
"Gantian dulu dong. Kalau Mas Gaga, apa?"
"Pengalamanku yang paling pahit itu bukan pas masa pacaran atau putus, tapi pas masa aku jadi temen curhat seseorang padahal akunya suka sama dia. Aku harus dengerin dia curhatin pacarnya, aku harus ngeliat dia sedih, tapi gak bisa apa-apa. We're just friend."
Aku gantian mengelus pundak Mas Gaga. "Kasian..."
"Terus gantian lagi dong, kamu apa lagi?"
"Itu aja sih yang bikin aku kesulitan."
"Dia berarti banget ya buat kamu?"
Aku menarik napas panjang. "Aku juga enggak ngerti, Mas. Tapi yang aku tau, aku masih nunggu dia sampai detik ini."
"Oh, gitu," balas Mas Gaga dengan senyum yang dipaksakan. "Kalau cinta, ya kejar. Biar kamu gak menyesali apapun di masa depan."
***
Mas Gaga mengantarku sampai di depan rumah. Celakanya, ibuku---yang selalu bersikap ketus pada setiap lelaki yang bersamaku---sedang berada di depan rumah bersama dua abangku, Bang Arel dan Bang Rayi. Mereka bertiga tampak serius.
"Bu," sapaku. Salim pada ibu dan kedua abangku.
Persis seperti yang ku khawatirkan, ibu memasang wajah ketus saat melihat Mas Gaga. "Kok pulang malem?"
"Biarin sih, Bu. Belum malem-malem juga. Namanya juga anak muda," celetuk Bang Rayi. Abang yang paling mengerti jiwa masa mudaku. Usia kami hanya terpaut dua tahun. "Iya gak, Dek?"
Aku hanya bisa tertawa kecut. Aku tak pernah berani melawan ibu. Ibu cenderung sangat tegas pada ketiga anaknya, apalagi aku anak perempuan satu-satunya.
"Assalamualaikum, Tante. Maaf nganter Sana kemalaman. Sepulang kerja saya langsung ajak Sana pergi lagi ke daerah Kemang. Ke cafe yang ada perpustakaannya," cerocos Mas Gaga, sok akrab sambil tersenyum ramah.
Yang sumringah hanya Bang Rayi, sementara ibu dan Bang Arel pasang wajah mengeras.
Ibu melirik jam di tangannya. "Aurora, masuk."
Aku menurut. Aku melambaikan tangan ke arah Mas Gaga yang sepertinya hendak disidang. Aku merasa tak enak, tapi apa boleh buat. "Makasih untuk hari ini ya, Mas Gaga. Sampai ketemu besok. Aku masuk duluan. Bye, Mas."
"Bye, San," balasnya.
Akupun masuk ke dalam rumah begitu saja tanpa perlawanan apapun. Sejenak aku mengintip dari balik jendela, apa yang sedang terjadi di antara ibu, Mas Gaga, Bang Arel dan Bang Rayi.
Posisi Bang Rayi sudah pindah ke sisi Mas Gaga dan hal itu cukup membuatku tenang. Ya, setidaknya masih ada yang membela Mas Gaga walaupun itu bukan aku.
Hampir sepuluh menit menunggu di ruang makan, Bang Rayi lebih dulu masuk. Aku lantas menghentikan langkahnya yang hendak naik ke lantai dua.
"Abang," teriakku, sambil menarik lengannya.
"Hah?"
"Mas Gaga diapain Ibu sama Bang Arel?"
Bang Rayi tertawa, "dibully."
"Serius ah! Diapain?"
"Nggak diapa-apain, Adeku sayang..."
"Bener ya? Awas aja kalau besok aku dijauhin Mas Gaga," ancamku sebal. "Ini juga masih jam 9 malam kan, Bang. Masih dalam batas wajar pulang malam."
"Bagi ibu, selepas maghrib itu udah malem ya, San. Ibu bakal mendadak bawel kalau kita semua belum pulang. Ibu cuma khawatir. Dan sebenernya Ibu cuma butuh kabar kamu. Lagian kamu keluar gak ngabar-ngabarin Ibu sih! Salah sendiri."
Aku merengut kalah. "Iya, maaf."
"Minta maaf sama Ibu sana, jangan sama Abang."
Tak lama kemudian Ibu masuk bersama Bang Arel. Kami tak sengaja bertatap mata. Wajah Ibu masih ketus. Aku mengalah, berjalan mendekati Ibu yang sedang mengambil sesuatu dari dalam kulkas.
Aku langsung memeluk Ibu dari belakang. "Bu, maafin Ade, ya. Udah pulang malam tanpa ngabarin Ibu. Terus pulangnya sama cowok yang Ibu gak kenal lagi. Ade tau itu salah kok."
Dari arah belakangku terdengar suara kekehan Bang Arel, ia mengacak-acak rambutku sejenak sebelum naik ke lantai dua menyusul Bang Rayi.
Ibu menghela napas panjang, lalu berbalik dan merengkuh wajahku. "Ngeselin," gerutu Ibu. Ia tersenyum, merapihkan rambutku dan mengelus-elus pipiku. "Ngelepas anak perempuan jalan malam-malam sama cowok gitu aja tuh gak gampang ya, Dek!"
"Iya, Bu. Ade paham..."
"Jangan diulang. Setidaknya kabarin. Mau kamu udah setua apapun, selagi kamu belum menikah dan pindah tanggung jawab ke suamimu nanti, kamu tuh masih tanggung jawabnya Ibu, Ayah, Bang Arel dan Bang Rayi loh," lanjut Ibu dengan serius. "Bagi kita semua kamu itu tetep anak kecil yang harus selalu diawasi. Bukan karena gak percaya kamu bisa hidup sendiri di luar sana, bukan itu. Tapi semua itu karena kita tau kalau kamu belum sepenuhnya tau dunia di luar sana sekejam apa."
Aku tersenyum miris. "Aku sayang banget sama Ibu. Makasih udah selalu ngelindungin Ade ya, Bu."
Dan, drama keluarga yang seperti itu sudah terulang beribu kali setiap kali Ibu melihatku pulang bersama seorang lelaki. Semakin membuatku berhati-hati pada dunia yang selalu Ibu katakan "kejam". Aku percaya, jika aku menuruti kata-kata Ibu sejak dini, aku tidak akan pernah salah langkah dan merasakan kejamnya dunia kepadaku. Aku akan selalu mempercayai Ibu.
Terima kasih untuk seluruh Ibu di dunia ini.
0 komentar :
Post a Comment