Thursday, August 1, 2019

Gagasan (Chapter 02; Yang Terjadi)

Diposkan oleh Sarashiba
"Mas Gaga," panggilku, di lorong kantor.
Mas Gaga berhenti melangkah dan menoleh. "Iya, San?"
"Hmm, soal semalam, maaf ya..."
"Maaf untuk apa?"


"Maaf kalau Ibu sama Abangku jadi neken kamu."
Mas Gaga tertawa seraya menyubit hidungku. "Apaan sih! Tertekan aja enggak, gimana bisa dibilang ditekan? Udah, gak usah dipikirin."
Mas Gaga berubah!
Mas Gaga berubah!!!
"Mas, ah...." Aku tanpa sadar merajuk manja.
Aku menarik lengan baju Mas Gaga begitu kencang hingga ia sedikit terpelanting ke belakang. Aku lagi-lagi menghentikannya.
Ah, aku tidak tahu kenapa.
Tapi yang jelas, aku benci dengan perubahan yang disebabkan olehku. "Maafin aku," ucapku memelas. Padahal ingin bicara banyak, tapi hanya itu yang terucap.
Mas Gaga mendekat. Ia menjulurkan jari kelingkingnya. "Gimana kalau kita bikin janji kelingking? Janji kalau pulang kantor nanti, kita jalan-jalan lagi tapi pulangnya gak boleh lewat dari jam delapan malam."
Aku sontak tercengang. Aku mengangguk seperti orang yang terhipnotis dan melingkarkan begitu saja jari kelingkingku di jari kelingkingnya. "Oke..."
"Ya udah, aku kerja dulu ya. Pak Bos lagi ribet banget nih," kata Mas Gaga sambil melirik jam di tangannya. "Kamu jangan makan pedes hari ini, oke? Sampai ketemu nanti sore."
Aku tersenyum, membalas lambaian tangannya. "Good luck, Mas." Aku menatapnya pergi, semakin lama semakin jauh dan menghilang dari pandanganku. Rasanya... deg-degan.
"Dih, senyam-senyum sendiri," kejut Nia. "Kaya orang gila."
Aku berdeham menyangkal. "Sotoy, ah!"
"Gue periksa cctv ya, kalau lu gak ngaku?"
Aku menyeringai kalah.
Aku memang tersenyum sepanjang Mas Gaga pergi.
"Mau nitip bakso pedes gak?" tawar Nia.
"Si Sana lagi gak dibolehin makan pedes sama Si Gaga," celetuk Kurnia yang keluar tepat di depan pintu di mana aku dan Mas Gaga berbicara. "Nurut aja apa kata si aa."
"Lo nguping ya, Kur?!"
Melihat reaksiku yang berlebihan-sambil menenteng beberapa buku-Kurnia menyeringai tipis. "Dikit... nggak banyak. Kebetulan aja lagi di ruangan itu. Mau keluar gak enak. Jadinya terkesan nguping."
"Ah udahlah, bingung gue mah sama orang-orang kasmaran," cicit Nia kesal sendiri. "Segala makan bakso pedes aja dilarang. Bentar lagi juga gue dapet kabar si Sana di larang makan somay, dilarang minum es sama makan permen karet."
Aku dan Kurnia terheran-heran melihat tingkah laku Nia. Kami berdua beradu pandang dan terkekeh pelan.
"Biasa, jomblo mah bawaannya panas aja kalau liat orang diperhatiin pacarnya," ujar Kurnia yang kemudian mengikuti langkah Nia. "Kalau mau nyusul, nyusul aja ya, San."
Aku menghela napas kasar, sekaligus mengikuti langkah mereka berdua. "Tau ahhhhh! Iya, ini gue ikut aja. Kesel. Lu pada tuh salah paham..."
Bla... Blaaa... Blaaa.
Kurnia tak mendengarku. Dia hanya meledek sepanjang jalan.
***
Entah mengapa aku benar-benar menuruti perkataan Mas Gaga untuk tidak memakan bakso pedas. Dan istirahat kali ini aku hanya ditemani oleh bubur ayam dan air mineral. Hal itu membuat Nia dan Kurnia terheran-heran. Bagaimana tidak? Mereka paling tahu kalau aku perempuan yang paling suka makanan pedas. Ya, meski begitu pada akhirnya mereka memahami satu hal; aku terlalu menuruti Mas Gaga.
Aku tak melihat batang hidung Mas Gaga ditempat makan manapun, biasanya aku bisa langsung menemukan batang hidungnya saat keluar dari kantor. Pos satpam yang di depannya banyak tukang jualan dan ojek-ojek online beristirahatlah tempat di mana Mas Gaga selalu duduk untuk sekedar merokok atau bercengkrama dengan teman-temannya. Sepertinya hari ini ia memang benar-benar sibuk.
Ada yang berbeda jika ditelaah lebih dalam. Kenapa aku terus-terusan memikirkan Mas Gaga? Aku tak bermaksud memikirkannya, tapi terpikirkan begitu saja. Aku semakin tak mengerti kala di setiap aku melangkah, ada harapan kecil bisa berpapasan dengannya.
"Mba Sana!"
Aku, Nia dan Kurnia serempak menoleh.
Yang memanggilku adalah Mas Karjo, satpam kantor. "Ada titipan dari Mas Gaga," katanya sambil terengah-engah.
Aku tertawa. "Mas Karjo nyamperin aku ke warung cuma buat ngasihin ini?"
"Ya, mau gimana, Mba. Penawaran dari Mas Gaga terlalu sayang untuk ditolak. Wong cuma diminta ngasihin ini ke Mba Sana. Gak ada ruginya. Jarak warung ke kantor cuma lima detik."
"Emang ditawarin apa, Mas Karjo?"
"Dikasih rokok sebungkus, nasi padang isi kepala ikan kakap sama soda yang botol besar, Mba."
"Masyallah banget Si Gaga ya," gumam Nia sambil garuk-garuk kepala. "Besok-besok gue juga mau lah diminta tolong Si Gaga."
"Gue juga mau," celoteh Kurnia ikut-ikutan.
Aku masih tertawa seraya menatap kotak coklat yang sedaritadi ku bolak-balik. Lalu menatap Mas Karjo. "Makasih banyak, Mas. Salamin aja buat Mas Gaga, bilangin terima kasih gitu."
"Iya, Mba, sama-sama," kata Mas Karjo, lalu pamit.
Nia dan Kurnia lantas bergerumul mendekat. Mereka ikut penasaran. 
"Coba buka, San," pinta Kurnia.
"Masa dibuka sekarang sih?"
"Ya, terus mau dibuka sampe sangkakala bertiup?"
Aku dan Kurnia lantas terbahak-bahak mendengar guyonan ketus Si Nia. Aku mengelus pundaknya pelan. "Emang kadang sesakit itu Nia melihat teman dapet hadiah dari cowok lain."
"Berisik," cicitnya, cemberut. "Cepetan buka! Jadi gue yang penasaran nih."
Aku membuka hadiahnya dengan perlahan. Kurnia dan Nia menyaksikannya secara seksama. Tak lama kemudian terlihat kardus bergambar helm. Kami semua saling bertatapan heran. Dan Nia pun membuka kardus tersebut. 
Benar saja, Mas Gaga menghadiahkanku sebuah helm.
***

Sampai jam pulang kantor aku sama sekali tak melihat batang hidung Mas Gaga. Sedaritadi berusaha melirik ke arah meja kerjanya tapi ia tak ada di sana seharian. Sama seperti halnya selepas makan siang, aku tak juga melihatnya di tempat ia biasa beristirahat.
Sambil mengemas tas, aku menghela napas pasrah. Oke, mungkin dia memang sedang sangat sibuk. Gak apa kalau gak jadi jalan.
Melihat situasi sekitar, ternyata hanya sisa beberapa orang saja. Nia dan Kurnia pulang lebih awal. Sebelum beranjak pergi aku menatap lagi meja kerja Mas Gaga.
Kriiinggg.
Teleponku berdering.
Aku cepat-cepat mengangkatnya. "Hallo?"
"Cepet turun. Abang di bawah kantormu."
Aku melirik ke nama kontak sekilas. Bang Rayi.
Aku menggumam, "kirain Mas Gaga..."
"Apaan?"
"Enggak," cicitku, lalu beranjak pergi. "Dua menit turun tangga, sepuluh detik jalan keluar."
"Abang nyalain stopwatch. Kalau lewat, pulang sendiri."
Aku terkekeh dan spontan berlari. "Oh, tidak semudah itu ferguso. Dianter jemput kerja adalah kenikmatan yang hakiki."
"Iya, irit ongkos."
"Tuh tau?"
"Satu, dua, tiga...." Dan seterusnya Bang Rayi menyebut angka. Tepat di angka ke delapan aku sampai di dalam mobilnya. "Naik mobil, bawa helm, apa faedahnya?"
"Ini kado, bambang." Sambil memasang seatbelt, Bang Rayi masih menatap helm yang berada di pangkuanku. "Kenapa liatinnya begitu?"
"Penasaran aja kapan tuh helm ditaro di belakang."
"Emang kalo dipangku kaya gini kenapa?"
"Percuma dong gue beli mobil yang gedean kalau kamu masih mangku barang kaya gitu?"
Aku menghela napas berat seraya menatap tajam Bang Rayi. "Abangku sayang, menurunnya minat membaca membuat timbulnya minat berkomentar. Pasti belum baca apa-apa hari ini, karena sedaritadi komen mulu."
Bang Rayi menatap kedua bola mataku tajam. Kami saling bertatapan. Suasana hening seketika.
"Asyhadualla ilahaillah, wa asyhaduanna muhamadar rasullulah," ucap Bang Rayi. Aku lantas tertawa.
Setiap kali Bang Rayi mengumandangkan syahadat, itu pertanda bahwa ia sudah tak ingin ada percakapan lagi di antara kita. Itu salah satu cara menenangkan diri yang diajarkan orang tua kami. 
Di tengah perjalanan, ponselku berdering. Ada telepon masuk dari Mas Gaga. Aku sontak terkesiap. Dudukku menegang. 
"H-Hallo, Mas?" Kalimatku tergagap.
"Sana..... Maafin Mas Gaga!!!"
Teriakan Mas Gaga membuatku refleks menjauhkan ponsel dari telinga. "Duh, gak usah teriak-teriak."
"Serius, aku minta maaf! Aku gak lupa sama janji pulang bareng dan jalan hari ini, tapi aku bener-bener lagi banyak kerjaan. Maafin aku ya, San..."
"It's okay, Mas," balasku, bersikap seolah baik-baik saja.
"Aku tunggu ya."
"Hah? Tunggu di mana?"
"Nanti juga kamu tau," ujarnya lagi. "Aku masih di jalan. Sampai ketemu nanti, Sana-ku!"
"Eh, Mas---" Panggilan terputus begitu saja.
Aku celingukkan kesana-kemari. Penasaran dengan maksud Mas Gaga. Akupun mencoba untuk menghubungi Mas Gaga lagi, namun gagal. Aku mendadak kesal dan merengut.
Di sebelahku, Bang Rayi cekikikan. "Kamu kenapa si?"
"Kesel."
"Ya, penyebabnya apaan?"
"Mas Gaga, yang kemarin ke rumah. Tadinya kita mau pulang bareng dan jalan, tapi gak jadi karena dia sibuk. Terus tadi nelpon bilang sampai nanti sampai nanti aja tanpa ngasih tau di mana. Bikin orang gregetan!"
"Sampai nanti di bioskop, San."
"Sotoy ih, Bang Rayi."
"Lah, Abang kan kontekan sama Gaga."
Aku melotot tanpa sadar. "Masa?!"
"Iya," angguk Bang Rayi. "Tadi pas Abang lagi nunggu kamu, Abang ketemu sama dia di depan kantormu. Mungkin dia mau ajak jalan kamu, tapi kepalang liat Abang jemput kamu. Dia gak enak kali kalo harus liat kamu ngusir Abang, jadi dia minta tolong anterin kamu ke Senayan City."
Aku buru-buru melihat jalanan. Benar! Ini bukan arah pulang, melainkan arah menuju Senayan City. Aku tersenyum sumringah dan mencubit gemas Bang Rayi. "Ah, elah. Kalian tuh ya..."
"Dih, gak usah alay gitu sok-sok manja!"
Aku tak menyangka kalau Mas Gaga dan Bang Rayi sudah menyepakati hal-hal konyol seperti ini. Hal sepele yang membuat mood-ku mendadak berubah baik. Hal yang bisa membuatku senang bukan main.
Sesampainya di Senayan City, Bang Rayi masuk ke dalam parkiran mobil.
"Kenapa gak turunin aku di depan aja?"
"Emangnya Abang tuh supirmu?"
Aku mengernyit, "terus maksudnya, Bang Rayi ikutan aku nonton sama Mas Gaga?"
"Menurut L?"
"Dih, dih, gak bisa begini nih. Ini mah menghancurkan khayalanku namanya! Abang pulang aja sana ih."
"Jahat amat sih, San? Seenggaknya biarin Si Gaga traktir Abang makan dulu gitu karena udah izinin kamu jalan sama dia."
"Kalau dia lagi gak punya duit gimana?"
"Ya, makanya kita test. Masa iya ngajak jalan cewe bawa duit pas-pasan? Dia kan bukan ABG lagi," cicit Bang Rayi tak mau kalah. "Udah ayo turun, tunggu apa lagi?"
***
Aku sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Bang Rayi. Sebenarnya ia utusan Ibu untuk mengawasiku atau memang ada maksud terselubung mengikutiku sepanjang malam ini. Benar-benar tidak ada ruang untukku berdua dengan Mas Gaga. Terlebih lagi Mas Gaga terlihat sangat terbuka dan nyaman-nyaman saja dengan kehadiran Bang Rayi, semakin membuatku tak bisa berkelak dan berkutik.
"Di luar ekspektasi Abang sih filmnya, keren!"
Aku menggumam, "sok-sokan ngerti film deh."
"Tapi bener kata Bang Rayi, San. Filmnya bagus. Mencegah anak-anak muda untuk bertindak di luar batas. Judulnya aja udah Dua Garis Biru. Aku sih setuju kalau film itu di luar ekspektasi," celoteh Mas Gaga.
Kami yang sedang berjalan beriringan---bertiga---tampak asik membicarakan film yang baru saja kami tonton. Semua dibayarkan oleh Mas Gaga. Aku sebenernya tak enak hati, tapi Bang Rayi selalu saja menahanku untuk tidak mengeluarkan sepeser uangpun. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya kali ini, kenapa harus Mas Gaga di test soal ke royalannya? Apakah memang itu perlu? Apakah ini salah satu saran ajaib dari Ibu? Entahlah, hanya Bang Rayi yang tahu.
"Abis ini mau makan gak?"
Bang Rayi lantas menggamit lenganku. "Udah ja 9 lewat, Ga. Ngeri Ibu marah-marah kalau harus pulang lebih malam lagi."
"Oh," angguk Mas Gaga seraya melihat tanganku yang direngkuh erat oleh Bang Rayi. "Kalau begitu bisa lain waktu, Bang Rayi, Sana."
Aku ikut mengangguk. "Iya, betul. Masih ada banyak waktu lain kok, Mas."
"Kalau gitu aku antar sampai parkiran, ya?"
"Nggak usah, kita pisah di sini aja. Lo harus pergi ke parkiran motor kan? Soalnya gue gak markir di basement," kata Bang Rayi. "Kita duluan ya, Ga. Nih... Ibu udah mulai nelponin."
Mas Gaga melihat ponsel yang ditunjukkan Bang Rayi, memang ada panggilan telepon masuk dari Ibu. 
Aku melambaikan tangan, tersenyum tipis, tentu agak kecewa dengan perjalanan malam ini. "Bye, Mas. Sampai ketemu besok."
Mas Gaga menarik pelan ujung jaket parka-ku. Wajahnya sumringah dan terkesan manja. "Hmmm," desisnya. Ikut melambaikan tangga. "Sampai nanti."
"Oh iya, Mas. Makasih helmnya ya," bisikku dari kejauhan. Karena aku sudah mulai mengikuti langkah Bang Rayi. "Bye, bye!"
Mas Gaga mengisyaratkan tangannya seperti orang yang sedang menelepon. Aku lantas tertawa dan mengangguk iya. Semoga janjinya kali ini ditepati tepat waktu; meneleponku saat ia sudah sampai di rumah.
Di perjalanan menuju parkiran, aku tak henti-hentinya tersenyum. Bang Rayi hanya menghela napas kesal melihatku yang tengah dimabuk asmara. Namun, semua sirna seketika kalan Bang Rayi tiba-tiba saja berlari ke arah dua blok dari mobilnya terparkir. Aku sontak membelalak dan berteriak histeris melihat Bang Rayi tak ada angin tak ada hujan meninju seorang lelaki bertubuh tambun di sisi mobil juke hitam.
"Stop, stop, stop," teriakku. Menarik-narik Bang Rayi yang meninju tanpa henti. "Tolong! Tolong... Pak Satpam, tolong."
Saat sedang sibuk melerai, aku melihat Jessica, kekasih Bang Rayi yang ikut sibuk melerai dengan cara memeluk erat lawan Bang Rayi. Kami bertatapan mata. Tatapanku terkejut, sedang tatapannya tatapan menghakimi.
"Rayi, berhenti," pekik Jessica. Ia menendang Bang Rayi.
Tubuhku spontan mendorong Jessica hingga terpelanting. "Gak usah nendang-nendang abang gue, Jess."
Jessica diam. Tangannya digamit oleh pria di sampingnya. Mereka berdua masuk ke dalam mobil meninggalkan Bang Rayi yang tersungkur di bawah.
"Jalang sialan," teriak Bang Rayi. "Berhenti..."
"Mas, Mas, udah Mas..." Satpam melerai, beberapa orang di sekitar hanya menonton dan memvideokan kejadian tadi.
Aku menarik lengan Bang Rayi yang hampir saja hendak berlari mengejar mobil yang dinaiki Jessica. "Udah, ayo pulang. Abang udah berdarah-darah gini."
Mata Bang Rayi memerah. Terlihat sekali ia menahan tangis dan malu akibat kekalahannya.
Aku tak banyak bicara.
Aku menggiringnya masuk ke dalam mobil. Mengambil kunci mobil dan mengemudikannya. Aku tak akan membiarkan Bang Rayi berkemudi dalam keadaan emosi. Bisa-bisa ia mencari mobil yang dinaiki Jessica dan menabrakkannya. Emosi Bang Rayi tak bisa dikendalikan, ia jauh berbeda dari Bang Arel yang penuh kedamaian dan ketenangan.
"Kita melipir dulu beli teh botol ya?" kataku, dan Bang Rayi mengangguk pasrah sambil menatap keluar jendela. Hatinya malam ini patah. Kasian....
***

"Gue udah tau sebenernya kalau cewek itu brengsek. Tapi..." Bang Rayi ragu-ragu sambil menyesap teh botolannya. Ia memandang ke arah jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Ia banyak menghela napas kasar, dan aku tak bisa tahan dengan situasinya saat ini.
Aku menyela, "tapi Abang terlalu sayang sama dia dan berakhir dipermainkan!"
Bang Rayi tertawa enggan.
"Cewek kan banyak, Bang. Abang juga gak jelek. Abang rajin, meski sejujurnya harus ku bilang kalau Abang agak nakal dan liar. Tapi biasanya juga kan cowok-cowok yang kaya Abang tuh gampang nyari cewek. Malah cenderung mereka yang nyakitin cewek."
"Biar Abang nakal, suka clubbing, jalan sana jalan sini, tapi Abang gak pernah mau mainin cewek."
"Emang bisa gitu ya?"
"Apanya?"
"Bukannya kalau cowok nakal identik mainin cewek?"
"Tergantung orangnya, San. Ada yang keliatan baik tapi malah suka mainin cewek, ada juga yang keliatan nakal tapi bisa ngejaga hati cewek. Don't judge people by a cover."
"Oh gitu... Abisnya aku gak tau ada cowok kaya gitu."
"Karena kamu baru jatuh cinta sama satu orang. Kamu cuma kenal dia. Cuma tau dia. Jadi duniamu selama ini ya hanya dia," celetuk Bang Rayi. "Jadi kamu gak pernah tau cowok lain di luar sana."
Aku diam.
Aku kembali terkenang pada seseorang.
"Kamu sendiri gimana? Udah mulai buka hati untuk Gaga kan? Gak Damar lagi, Damar lagi?"
Ah, disebut!
Damar...
Kenapa harus disebut nama itu.
Hatiku mendadak tak karuan
"Ah, jangan bahas dia," kataku dengan nada sedikit meninggi. Aku menaruh teh botolanku, lalu berdiri. "Hatiku gak pernah siap jika harus bahas dia."
Bang Rayi tersenyum menenangkan. "Sini duduk dulu, jangan ngegas dulu. Abang kan mau tau."
"Abang kan tau segalanya. Abang tau aku ditinggal tanpa kejelasan. Semua kontak dihilangkan. Dia kenapa aja aku gak tau. Sakit kalau bahas dia, tapi aku masih butuh jawaban kenapa dia pergi, tapi aku juga gak tau harus nyari dia kemana."
"Kalau ternyata dia ada di sekitar kamu gimana?"
Lagi lagi aku terdiam.
"Kalau ternyata dia punya alasan kuat buat pergi?"
Aku memasang wajah tegas dan sendu dalam satu waktu sekaligus. "Apapun alasannya, pergi tanpa kejelasan itu menyakitkan, Bang."
Sejurus kemudian ponselku berdering. Aku melihat nama kontak yang menghubungiku. Tidak ada namanya, berarti bukan Mas Gaga. Samar-samar aku mengingat nomor tersebut. Ya, nomor tak dikenal yang tempo hari mengirim pesan singkat.
"Hallo," kataku.
".... H-Hallo," jawab seseorang di seberang sana. Suaranya pelan dan lembut. Tapi terdengar penuh dengan penekanan. "Apa benar ini Sana Aurora?"
"Iya, benar. Maaf ini dengan siapa ya?"
"Bunga."
"Bunga?" Ulangku. Mencoba mengingat-ingat, dan...
"Istrinya Damar."
Mataku menatap lurus ke arah Bang Rayi yang menungguku selesai mengangkat telepon. Raut wajahku mengeras dan Bang Rayi tahu ada sesuatu yang salah.
"Eh, San," seru Bang Rayi kala tubuhku terhuyung ke belakang. "Kenapa si? Itu siapa? Ada apa?"
"Maaf mengganggu. Tapi... Ada hal penting yang ingin saya katakan padamu," kata Bunga, istri Damar yang berani menghubungiku tiba-tiba. "Bisa kita ketemu besok sore di cafe garden deket kantormu?"
"Tau dari mana kalau cafe itu dekat kantor saya?"
"Dari Damar," jawabnya tegas, dengan nada bicara yang sendu. "Tolong saya, Sana. Saya harus bertemu kamu secepatnya."
Tanpa pikir panjang, akupun mengiyakan. Meski aku sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi antara dia dan Damar---lelakiya yang selama ini aku cari dan nantikan kabarnya. "Besok, jam lima sore di cafe garden. Sampai nanti."
"Siapa? Kasih tau," paksa Bang Rayi setelah aku mengayun turun ponselku.
Aku menatap matanya. Mataku berkaca-kaca, degup jantungku tak karuan, tapi sejujurnya ada perasaan lega yang aku sendiri tak tahu dari mana asal perasaan yang seperti itu. "Bunga, istrinya Damar."
Bang Rayi tak bisa menutupi keterkejutannya. Ia mundur selangkah, menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. "Gila, gila..."
"Pulang yuk?"
"Serius mau pulang?"
"Iya, Ibu udah nyariin."
Bang Rayi menggamit lenganku, membuatku berhenti melangkah menuju mobil. "Kamu baik-baik aja kan?"
"Menurut Bang Rayi?"
***

Sesampainya di rumah. Aku bergegas pergi ke kamar, mengabaikan persoalan Bang Rayi begitu saja, meninggalkannya dalam keadaan bingung. Ibu yang menyapaku juga tampak ku abaikan. Hanya senyum sekilas lalu mengeluyur pergi.
Aku sedang tidak ingin banyak bicara dan kebetulan pula Mas Gaga tampaknya lupa kalau ia sudah berjanji untuk menghubungiku. Tak ada pesan darinya, tak ada telepon darinya juga. Jadi, aku bebas dengan kesendirianku malam ini.
Aku melempar tas dan menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. "Hah," desahku. Rasanya sekujur tubuh beserta isi pikiranku ini lelah selelah-lelahnya.
Ada rasa ingin menangis, tapi entah mengapa air mata tak juga keluar. Berakhir dengan helaan napas panjang dan perasaan berkecamuk yang sulit dijelaskan.
Ada apa dengan Damar dan istrinya?
Kenapa aku dihubungi?
Suara istrinya kenapa terdengar sendu?
Kringggg.
Aku tersentak. Aku mengangkat sebagian tubuh untuk meraih ponsel di dalam tas. Ah, ternyata Mas Gaga. Aku pikir ia lupa.
"Hallo, Mas?"
"Maaf baru menghubungimu."
"It's okay."
"Suaramu terdengar lemah."
Aku tersenyum sekilas. "Ya, aku capek banget."
"Ya udah, istirahat sana. Maaf menganggumu malam-malam begini," ujar Mas Gaga. Hening sejenak lalu kembali angkat bicara. "Semoga suka dengan hadiahku."
"Aku lagi gak ulang tahun. Jadi, itu hadiah dalam rangka apa, Mas?"
"Merayakan hari pertama kamu meresponku."
Tak sadar, aku tertawa. "Apaan si? Alay."
"Aku serius. Rasanya udah lama sekali aku menanti-nantikan hari ini, San."
"Sejak... kapan emangnya?"
Terdengar suara helaan napas panjang Mas Gaga di ujung sana. "Sejak pertama kali kamu masuk kantor."
***

Masih mau lanjut??
Dm @sarashibananda
Or
Email sarashibabcd@gmail.com

0 komentar :

Post a Comment

 

Sarashibananda♥ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos